Selamat Datang di Blog Pribadi Saya. Terima kasih atas kunjungan Anda. Silahkan sampaikan komentar, kritik, serta saran Anda pada bagian yang telah Saya sediakan.

Kemerdekaan Pers Indonesia

Selasa, 31 Mei 2011 | 0 komentar



BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
1. Sejarah Pers
Sekitar 3.400 tahun yang lalu, di Mesir, Kaisar Amenhotep III (1405 – 1367 SM) merobak sistem pemerintahan, diantaranya membuka cara baru jalur komunikasi. Kaisar yang naik tahta diusia 15 tahun itu, mengutus ratusan “wartawan” membawa “surat berita” untuk seluruh pejabat ke semua Provinsi . Tindakan ini dianggap cikal bakal lahirnya jurnalistik.
Lislie G. Moeller dari Universitas Lowa Amerika Serikat dalam tulisan ensiklopedi berjudul The New Book of Knowledge, meskipun tidak menjelaskan secara rinci perihal diatas, akan tetapi, adanya berita tertulis yang disampaikan oleh utusan raja kepada pejabatnya dianggap ada kesamaan dengan profesi wartawan.
“…….., mungkin karena ada berita tertulis yang disampaikan oleh utusan raja kepada para pejabat diseluruh negeri. Jadi, ini ada kesamaan dengan profesi wartawan sekarang dan ini terjadi dinegara yang memiliki peradaban tinggi dimasa silam yang sangat jauh.”1
Pada masa Sriwijaya dan Majapahit, utusan itu disebut penyeranta. Kerjanya berkeliling menyampaikan pengumuman dari raja kepada khalayak ramai. Mereka berjalan kaki atau berkuda mendatangi tempat ramai atau mengumpulkan orang dengan memukul gong.
Sementara, pada kekaisaran Romawi, 2500 tahun lalu, setiap peristiwa penting sehari-hari seperti penobatan, kunjungan tamu agung dipublikasikan di papan pengumuman. Maka, munculah istilah jurnalis atau diurna yang artinya sehari-hari. Istilah lainnya, acta diurna, acta populi atau acta publica.
Senat pun demikian. Mereka mempublikasikan aktivitasnya, antara lain mengenai perundang-undangan atau peraturan. Kegiatan ini disebut acta senatus atau commentarii senates yang diprakarsai senator Tiberius pada tahun 1 masehi.
Kala itu, ada yang bekerja sebagai penyalin pengumuman. Salinan tersebut dijual kepada mereka yang enggan berdesak-desakan di depan papan pengumuman atau mereka yang tempat tinggalnya jauh dari lokasi. Namun, cara ini berbeda dengan Amenhotep III dan penyeranta.
Aktifitas tersebut terus menerus berjalan, seriring perkembangan, mengalami berbagai perubahan. Mulai dari istilah, praktek dan bentuk penyajiannya. Selain istilah jurnalis, ada juga yang menyebut wartawan, reporter dan pers.
Menurut P. J. Zoetmulder dalam bukunya, Kamus Jawa Kuno – Indonesia , Istilah wartawan, berasal dari kata sanskerta, wrtta. Artinya digerakan, terjadi, lalu, lewat, soal, peristiwa, tindakan, tingkah laku, atau bisa juga berarti berita. Istilah wartawan digunakan pada masa kemerdekaan sebagai pengganti kata jurnalis pada masa zaman Belanda.2
Sementara, istilah reporter diambil dari dunia birokrat pada abad 15. Pada waktu itu, para birokrat patut dijadikan tauladan lantaran tulisan mereka itu rapi, jelas, bagus, jujur dan objektif. Penggunaan istilah itu dengan maksud agar para wartawan bekerja seperti birokrat tersebut.
Sedangkan istilah pers (bahasan belanda) dan press (bahasa inggris) muncul setelah mesin cetak ditemukan pada tahun 1450 oleh Johannes Gutenberg, warga Sungai Rhein, Kota Mainz, Jerman. Pria itu merintis pembuatan mesin cetak sejak 10 tahun sebelumnya. Lamanya pembuatan mesin cetak itu lantaran sulitnya mendapat jenis kayu yang tidak susah digunakan untuk mengukir huruf dan kuat untuk dipakai mencetak banyak dan tahan ditekan berulang-ulang. Pers atau press atinya ditekan.
Awalnya mesin cetak sangat sederhana dan hanya digunakan untuk membuat selebaran terkait suatu peristiwa. Itu pun disebarkan dalam bentuk panflet ke kedai kopi. Penyebaran ke café, muncul, setelah Columbus menemukan India Barat, 1492. Dalam pelayarannya, mereka mencari emas, permata dan rempah-rempah ke Asia. Sejak itu, Eropa berbondong-bondong mengikutinya sehingga pelabuhan ramai. Disitulah mereka bercerita dan saling bertukar informasi.3
Lama – kelamaan, mesin cetak makin canggih dan dapat mencetak banyak, misalnya mesin cetak menggunakan timah hingga cetak off set. Makanya, baru 169 tahun, sejak mesin cetak ditemukan, muncullah surat kabar pertama di dunia. Namanya Avisa Relation Oder Zeitung, di Augsburg Jerman, yang secara rutin terbit mingguan sejak 15 Januari 1609. Sementara koran yang terbit tiap harinya yakni Daily Courant di London 1702. Meskipun demikian, sebelumnya banyak juga Koran yang sudah terbit namun hilang timbul.
Namun kehadiran pers, ibaratkan “nyamuk yang menganggu,” khususnya bagi penguasa. Lembaga jurnalistik itu dianggap mampu mempengaruhi opini publik. Hitam kata pers, maka hitam pula anggapan masyarakat terhadap pemerintah. Begitu juga sebaliknya. Contohnya saja, bila pers memberitakan bahwa pemerintah korup, tidak pro rakyat, dll. Maka terbentuklah opini demikian. Padahal bisa saja, berita benar atau sebaliknya. Begitu besarnya pengaruh pers dalam menggiring opini publik.
Mengantisipasi hal tersebut, Kerajaan Inggris pada abad 16 memberlakukan hukum yang keras terhadap pers. Setiap berita yang hendak diterbitkan, wajib disensor terlebih dahulu. Bahkan, agar mudah dikontrol pemerintah, kantor penerbitannya wajib dekat istana. Parahnya lagi, bila pemerintah menilai pers melakukan kesalahan maka hukumannya adalah pancung bagi pimpinan redaksinya. Hukuman teringan adalah potong lidah. Sistem ini dikenal dengan istilah autoritarian.
Di Amerika, keberadaan pers pun mendapat tekanan dari pemerintah. pada tahun 1690, koran pertama bernama Public Onccurrences Both Foreign and Domestic yang didirikan Benjamin Harris baru sekali terbit langsung dibredel oleh Gubernur Massachussets lantaran dinilai kontra pemerintah.
Selain autoritarian, ada juga totalitarian. Artinya, sistem ini lebih kepada pers sebagai alat propaganda pemerintah. Dalam sistem ini, informasi dimonopoli oleh pemerintah. lembaga pers berada dibawah kekuasaan pemerintah dan tidak ada pers swasta. Sistem ini berlaku di Uni Soviet.
Kemudian libertarian. Sistem ini lahir setelah revolusi Prancis dan kemerdekaan Amerika Serikat lebih dari 200 tahun yang lalu. Dengan sistem ini, kebebasan pers dijunjung tinggi. Namun dalam perjalannya, pers akhirnya dikuasai oleh para pengusaha. Pers telah berkembang menjadi industri. Koran dan majalah dicetak dengan percetakan canggih dan itu butuh modal besar. Karena penguasa memiliki modal, maka lama-kelamaan, pengusahan menjadi penguasa pers.
Lalu, timbul persoalan. Kepentingan pengusahan kerap bersebarangan dengan kepentingan masyarakat. Kemanakah pers harus berpihak. Munculah sistem baru, yakni sistem tanggung jawab sosial. Disinilah pers harus bersandar kepada kepentingan umum.
Untuk itu, dibutuhkan kemerdekaan pers. Pasalnya, kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat terjamin.
Kemerdekaan menyampaikan pikiran dan pendapat sesuai hati nurani merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki. Ini diperlukan untuk menegakan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun pers sebagai wahana komunikasi, penyebar informasi dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranannya dengan cara-cara professional.
Seperti yang disampaikan Jacoeb Oetama, tokoh pers nasional, dalam Buku Saku Wartawan, Lembaga Pers DR. Soetomo, Cetakan ke 2, Juli 2010 Hal vii, bahwa kebebasan pers akan lebih bermanfaat jika disertai peningkatan professional competence, termasuk didalamnya professional ethic.
Di Indonesia, kemerdakaan pers sesungguhnya telah diatur di dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945. Namun, sejauhman kemerdekaan itu dilindungi apakah kemerdekaan itu berjalan sebagaimana mestinya. Hal inilah yang akan penulisan uraikan dalam bab berikutnya.
B. Masalah
Apakah kemerdekaan pers di Indonesia sudah berjalan sebagaimana mestinya saat ini
C. Tujuan dan manfaat penulisan
1. Tujuan penulisan
a. Untuk melengkapi tugas mata kuliah
b. Sebagai sumbangan pemikiran yang bersifat ilmiah, khusus dibidang peran, fungsi, hak dan kewajiban lembaga pers dalam menjalankan kemerdekaan pers yang bertanggung jawab.
2. Manfaat penulisan
a. Menambah pengetahuan penulis khususnya dibidang peran, fungsi, hak dan kewajiban lembaga pers dalam menjalankan kemerdekaan pers yang bertanggung jawab.
b. Menambah pengetahuan dan pengalaman penulis dalam membuat karya ilmiah
D. Pendekatan
Pendekatan yang dilakukan dalam penulisan ilmiah ini yakni yuridis normatif dan yuridis historis.
E. Sumber Data
Data kepustakaan terdiri dari
1. Bahan Hukum primer : Peraturan yang berhubungan dengan objek seperti UUD 1945 dan peraturan terkait objek penuilsan.
2. Bahan Hukum Sekunder : literatur atau bahan-bahan bacaan yang berhubungan dengan objek penulisan
3. Bahan Hukum Tertier : terdiri kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris dan Kamus Hukum
F. Sistematika Penulisan
Penulisan karya ilmiah ini, penulisan membagi dalam empat bab, yang mana tiap babnya dibagi dalam beberapa sub-sub bab. Maksud dan tujuannya adalah guna mempermudah mengurai dan pembahasan. Berikut sistematika penulisannya :
Pada bab I, berisikan pendahuluan. Bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, menjelaskan pendekatan penulisan, sumber data dan menjelaskan sistematika penulisan yang merupakan dasar bagi penulisan pada bab-bab berikutnya.
Pada bab II, berisikan tinjauan umun kepustakaan. Penulis berupaya menguraikan kerangka konsepsional kemerdekaan pers dan pengertian – pengertiannya. Serta menguraikan aturan-aturan yang terkait dengan kemerdekan pers dan pelaksanaannya.
Pada bab III, membahas mengenai Sejauh mana kemerdekaan pers itu dilindungi Negara dan Implikasi yuridis berlakunya UU No. 40 / 1999 terhadap peran, fungsi, hak dan kewajiban pers dalam menjalankan kemerdekaan pers yang bertanggung jawab.
Pada bab IV berisikan kesimpulan dan saran yang merupakan bab penutup. Kesimpulan ini merupakan inti dari permasalahan yang dibahas dan terdiri dari saran-saran yang penulis anggap perlu dari bab-bab yang telah dikemukakan sebelumnya.

“Pengaturan Perlindungan Hukum Anak Korban Kekerasan Seksual Dalam Perspekti HAM”

| 0 komentar




BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
“Komnas : Jutaan Anak Indonesia Alami Pelanggaran HAM
Wednesday, 01 December 2010 02 : 22 WIB
REPUBLIKA.co.id : Medan – Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengatakan, jutaan anak Indonesia mengalami pelanggaran Hak Asasi Manusia setiap tahun. Jenis bentuk pelanggaran HAM pun beragam.
Dalam seminar pendidikan anak bertema “Anakku Masa Depanku” di Medan, akhir pekan lalu. Aris Merdeka Sirait, mengatakan, perlindungan terhadap anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penghormatan terhadap HAM. ‘Pengabaian hak anak sama halnya dengan pelanggaran HAM,’ katanya.
Arist Merdeka menyatakan, pelanggaran HAM anak yang terjadi itu mulai dari pembuangan bayi, penelantaran anak, gizi buruk hingga penularan HIV / AIDS. Berdasarkan catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), kasus pembuangan bayi yang umumnya dilakukan kalangan orang tua mengalami tren peningkatan.
Pada tahun 2008, Komnas PA menerima pengaduan kasus pembuangan bayi sebanyak 886 bayi. Sedangkan tahun 2009 jumlahnya meningkat menjadi 904 bayi. Tempat pembuangan bayi juga beragam. Mulai dari halaman rumah warga, sungai, rumah ibadah, terminal, stasiun kereta api hingga sekolah dan tempat sampah.
Dari laporan yang didapat dari masyarakat, sekitar 68 persen bayi yang dibuang tersebut meninggal dunia. “Sedangkan sisanya diasuh masyarakat atau dititipkan di panti asuhan,” katanya.
Kemudian, dari data yang didapatkan dari Direktorat Pelayanan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial, Komnas PA menemukan 5,4 juta anak yang mengalami kasus penelantaran pada tahun 2009. Sementara anak yang hampir ditelantarkan hampir mencapai 17,7 juta orang, kata Arist Merdeka.
Kasus pelanggaran HAM anak yang lainnya adalah gizi buruk (marasmus kwasiokor) yang berdasarkan dari UNICEF, badan PBB untuk perlindungan anak, jumlahnya mencapai 10 juta jiwa di Indonesia. Dalam data Komnas PA, salah satu wilayah yang paling terjadi kasus gizi buruk adalah Sumatera Barat.
“Di daerah ini (Sumatera Barat), 23 ribu anak dari 300 ribu usia balita mengalami gizi buruk,” katanya. Namun Arist Merdeka Sirait menyatakan, kasus gizi buruk juga banyak terdapat di daerah lain.
Adapun kasus penularan HIV / AIDS di Indonesia, terdapat 18.442 kasus orang tua yang menderita penyakit mematikan tersebut hingga September 2009. Mereka, kata Arist, tentu berpotensi menularkan terhadap anak berdasarkan laporan yang didapat dari Kementerian Kesehatan.”[1]
“Rabu, 22/12/2010 19.13 Wib
KPAI Banyak Temukan Kekerasan Seksual Pada Anak di Tahun 2010
Jakarta – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan banyak aduan kekerasan pada anak di tahun 2010. Dari 171 kasus pengaduan yang masuk sebanyak 67,8 persen terkait dengan kasus kekerasan .
“Pengaduan terkait dengan masalah perlindungan anak di KPAI sepanjang 2010, sebanyak 67,8 persen terkait dengan kasus kekerasan, dan 17 persen terkait dengan anak bermasalah dengan hukum. Sisanya terkait kasus anak dalam situasi darurat, kasus eksploitasi, kasus trafiking dan kasus diskriminasi,” kata Wakil Ketua KPAI Asrorun Ni’am Sholeh dalam siaran pers, Rabu (22/12/2010).
Ni’am menjabarkan, dari data tersebut, jenis kekerasan yang paling banyak terjadi kepada anak 45,7 persen (57) kasus, kekerasan fisik sebanyak 25 persen (29) kasus, penelantaran sebanyak 20,7 persen (24 kasus), dan kekerasan psikis 8,6 persen (10 kasus).
“Data tersebut menunjukan masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam memberikan perlindungan anak. Besarnya pengaduan mengenai kekerasan anak merupakan warning bagi kita sebagai bangsa untuk meningkatkan kesadaran pentingnya perlindungan anak,” terangnya.
Untuk itu, lanjut Ni’am, negara bersama masyarakat perlu menggerakan seluruh sumber daya, terutama anggaran untuk perlindungan anak. Disamping itu, dalam catatan akhir tahunnya, KPAI juga menemukan banyak anak berusia muda telah terpapar rokok yang dilakukan orang dewasa.
“Perokok seringkali membiarkan anak – anak sekitarnya terpapar oleh rokok. Orang tua dengan enak menyuruh anak – anak untuk membeli rokok dan akses membeli rokok bagi anak terbuka luas, yang berimplikasi perokok pemula semakin muda usianya,” terang Ni’am.
Fakta tersebut, tambah Ni’am, menunjukan adanya perlakukan yang salah kepada anak dilakukan secara sadar oleh masyarakat dan sering terjadi pembiaran oleh negara. “ini jelas melanggar undang – undang. Tetapi kita semua tidak memiliki sensitifitas, negara abai untuk melindungi dan publik juga menganggap hal itu bukan sesuatu yang salah,” urai Ni’am.
Sementara menurut Ketua KPAI, Maria Ulfah Anshor, untuk tahun 2011 KPAI akan konsen mengawal pengarustamaan perundang – undangan yang sensitif anak. “Pada 2011, ada RUU tentang Pengadilan Anak yang menjadi prolegnas. KPAI akan mengawal hal ini,” tuturnya.[2]
Informasi tentang kekerasan terhadap anak seperti ini kerap kali kita temui hampir disemua media. Bahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, pada Oktober 2010 lalu, juga pernah merilis ke berbagai media terkait pelanggaran HAM. Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar, pada tahun 2009 angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mencapai 143.586 kasus atau meningkat 263 persen dibanding tahun sebelumnya yang hanya 54.425 kasus.[3]
Sebelumnya juga, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga pernah mengungkapkan perihal yang sama. Dari laporan pengaduan yang masuk ke lembaganya, per tanggal 1 Desember 2010, berjumlah 277 kasus. 60 persen diantaranya didominasi klaster perlindungan khusus yaitu kasus kekerasan seksual, kekerasan fisik dan psikis, anak berhadapan dengan hukum dan trafiking (tindak pidana perdagangan anak). Dan kasus tersebut didominasi kekerasan seksual terhadap anak.[4]
Kemudian 27,8 persen kasus yang diadukan adalah klaster keluarga dan pengasuhan alternatif yang termasuk didalamnya adalah hak kuasa asuh pra, proses dan pasca perceraian, penelantaran anak oleh orang tua, adopsi yang dilakukan oleh keluarga atau kerabat dekat dan juga kasus membawa lari anak dari kuasa asuh yang sah.[5]
Meningkatnya kekerasan terhadap anak juga diakui Ketua Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Seto Mulyadi atau yang biasa disapa Kak Seto. Penyebab utama dari banyaknya kekerasan yang dialami oleh seorang anak adalah masih banyaknya sebuah paradigma lama yang selalu keliru dimana masih berpegangan untuk mendidik seorang anak harus dengan cara-cara kekerasan. Misalnya mendidik anak dengan cara dipukul, ditempeleng dan dijewer, sehingga soal itu menjadi bagian dari tindakan kekerasan dalam mendidik anak.[6]
Dan parahnya lagi, menurut Lukman Hakim Nainggolan :
“Kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi disekitar kita dan sepanjang tidak saja dilakukan oleh lingkungan keluarga anak, namun juga dilakukan oleh lingkungan keluarga anak sendiri yakni orang tua. Kasus – kasus kekerasan yang menimpa anak – anak, tidak saja terjadi diperkotaan tetapi juga dipedesaan. Namun sayang belum ada data yang lengkap mengenai ini. Sementara itu, pelaku child abuse, 68 persen dilakukan oleh orang yang dikenal anak. 34 persen dilakukan oleh orangtua kandung sendiri. Dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa anak perempuan pada situasi sekarang ini, sangatlah rentan terhadap kekerasan seksual. Alasan pada umumnya sangatlah beragam, selain tidak rasional juga mengada – ada. Sementara itu usia korban rata – rata berkisar 2 – 15 tahun bahkan diantaranya dilaporkan masih berusia 1 – 3 bulan. Para pelaku sebelum dan sesudah melakukan kekerasan seksual umumnya melakukan kekerasan, dan atau ancaman kekerasan, tipu muslihat dan serangkaian kebohongan.[7]
Perihal di atas tentunya sangat memprihatinkan bagi kita, apalagi hal semacam itu terjadi di negara yang mengakui Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai hak yang melekat pada diri setiap manusia yang dilindungi hukum. Ini merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat yang mestinya disadari untuk patuhi. Pengakuan negara akan perlindungan anak dari kekerasan, khususnya kekerasan seksual, dibuktikan dengan diratifikasinya Konvensi Perserikatan Bangsa – bangsa (PBB) tentang Hak – hak Anak (Convention on the Rights of the Child) Tahun 1989 oleh 191 negara, termasuk didalamnya Indonesia, dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden RI Nomor 36 Tahun 1990.[8] Al – hasil, Konvensi Hak Anak (KHA) tersebut menjadi hukum positif di Indonesia mengingat asas pacta sun servanda.[9]
Dengan demikian, kekerasan terhadap anak jelas sebuah tindakan yang bertentangan dengan konstitusi dan hukum positif di Indonesia. Sepatutnya, setiap warga negara wajib menghormati HAM sebagaimana yang diamanatkan Undang – undang Dasar 1945 Pasal 28B ayat (2) bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.[10]
Asas atau prinsip – prinsip umum perlindungan anak dalam KHA sebagaimana yang diadopsi Undang – undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA) menyebutkan asas nondiskriminasi (Pasal 2), kepentingan yang terbaik buat anak (Pasal 3), hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan (Pasal 6), dan penghargaan atas pendapat anak (Pasal 12).[11]
Pengingkaran prinsip tersebut, bagi Jimly Asshiddiqie merupakan kejahatan terhadap HAM karena pada dasarnya adalah tindakan yang bertentangan dengan konstitusi. Karena konstitusi merupakan sumber hukum dasar dan common platform yang mengikat seluruh bangsa Indonesia, maka kejahatan terhadap HAM dapat diartikan sebagai pengingkaran terhadap hukum dasar dan common platform tersebut.[12]
Pengakuan pentingnya perlindungan hak anak oleh negara juga disampaikan Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak Sulawesi Selatan, M. Gufran H Kordi K. Dia mengatakan bahwa merujuk pada konstitusi tersebut, menggambarkan adanya upaya pemenuhan hak dan perlindungan secara terstruktur melalui negara.[13] Hanya saja, kenyataannya, kekerasan terhadap anak masih terjadi disana sini.
Kekerasan seksual terhadap anak tidak saja terjadi di Indonesia, perihal yang sama juga terjadi di negara lain. Salah satu contoh di Philipina dan Thailand. Ancaman sodomi dan pembunuhan oleh kaum paedophilia (orang yang secara seksual tertarik pada anak) bukan berita baru lagi. Sodomi, pembunuhan dan pelacuran anak – anak dibawah umur merupakan ancaman terhadap anak jalanan di seluruh dunia.[14] Dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Persoalan ini pula yang mengusik rasa keingin-tauan kami untuk menulis terkait dengan bagaimana pengaturan perlindungan anak dari kejahatan HAM di Indonesia dan kendala penegakan hukumnya. Terutama yang bersentuhan langsung dengan kekerasan seksual terhadap anak yang merupakan extra ordinary crime[15] terhadap HAM. Karena hingga saat ini masih terlihat minimnya upaya penegakan hukum dan upaya pemulihan psikologi anak korban kekerasan seksual. Bahkan, banyak pihak terkesan lebih mempersoalankan minimnya anggaran sebagai dasar tindakan pencegahan kekerasan seksual dimaksud.
Agar pembahasan masalah ini tidak terlalu melebar, maka penulisan makalah ini kami fokuskan pada “Pengaturan Perlindungan Hukum Anak Korban Kekerasan Seksual Dalam Perspekti HAM” dan sekaligus menjadi judul makalah ini.”

[1] http : //www.republika.co.id, 1 Desember 2010.
[2] http://www.detiknews.com, 22 Desember 2010.
[3] Republika, Op Cit, 23 Oktober 2010.
[4] Ibid, 2 November 2010.
[5] Ibid.
[7] Lukman Hakim Nainggolan, Bentuk – bentuk Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Bawah Umur, Jurnal Equality, Vol 13 No. 1 Februari 2008, Hal 83.
[8] Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, Cetakan 1, Citra Aditya Bakti, 2009, Hal 15 – 17.
[9] M. Marwas & Jimmy P, Kamus Hukum, Dictionary of Law Complete Edition, Cetakan 1, Reality Publisher, Surabya, 2009, Hal 64 – 65.
[10] Yudha Pandu, Ed, UUD 1945 & Konstitusi Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2010, Hal 30.
[11] Rika Saraswati, Op Cit, Hal 18 – 19.
[12] Majda El – Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Cetakan ke 3, Prenada Media, Jakarta, 2009, Hal v.
[13] http://metronews.fajar.co.id.
[14] http;//www.ykai.net
[15] M. Marwas & Jimmy P, Op Cit, 200 – 201.

Fly with me ... you will be happy :)

| 0 komentar

 
© Copyright 2010-2011 mr giepie All Rights Reserved.
Template Design by CSATLZone | Published by Jambi Law Club | Powered by Blogger.com.