
| |
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
“Komnas : Jutaan Anak Indonesia Alami Pelanggaran HAM
Wednesday, 01 December 2010 02 : 22 WIB
REPUBLIKA.co.id : Medan – Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengatakan, jutaan anak Indonesia mengalami pelanggaran Hak Asasi Manusia setiap tahun. Jenis bentuk pelanggaran HAM pun beragam.
Dalam seminar pendidikan anak bertema “Anakku Masa Depanku” di Medan, akhir pekan lalu. Aris Merdeka Sirait, mengatakan, perlindungan terhadap anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penghormatan terhadap HAM. ‘Pengabaian hak anak sama halnya dengan pelanggaran HAM,’ katanya.
Arist Merdeka menyatakan, pelanggaran HAM anak yang terjadi itu mulai dari pembuangan bayi, penelantaran anak, gizi buruk hingga penularan HIV / AIDS. Berdasarkan catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), kasus pembuangan bayi yang umumnya dilakukan kalangan orang tua mengalami tren peningkatan.
Pada tahun 2008, Komnas PA menerima pengaduan kasus pembuangan bayi sebanyak 886 bayi. Sedangkan tahun 2009 jumlahnya meningkat menjadi 904 bayi. Tempat pembuangan bayi juga beragam. Mulai dari halaman rumah warga, sungai, rumah ibadah, terminal, stasiun kereta api hingga sekolah dan tempat sampah.
Dari laporan yang didapat dari masyarakat, sekitar 68 persen bayi yang dibuang tersebut meninggal dunia. “Sedangkan sisanya diasuh masyarakat atau dititipkan di panti asuhan,” katanya.
Kemudian, dari data yang didapatkan dari Direktorat Pelayanan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial, Komnas PA menemukan 5,4 juta anak yang mengalami kasus penelantaran pada tahun 2009. Sementara anak yang hampir ditelantarkan hampir mencapai 17,7 juta orang, kata Arist Merdeka.
Kasus pelanggaran HAM anak yang lainnya adalah gizi buruk (marasmus kwasiokor) yang berdasarkan dari UNICEF, badan PBB untuk perlindungan anak, jumlahnya mencapai 10 juta jiwa di Indonesia. Dalam data Komnas PA, salah satu wilayah yang paling terjadi kasus gizi buruk adalah Sumatera Barat.
“Di daerah ini (Sumatera Barat), 23 ribu anak dari 300 ribu usia balita mengalami gizi buruk,” katanya. Namun Arist Merdeka Sirait menyatakan, kasus gizi buruk juga banyak terdapat di daerah lain.
Adapun kasus penularan HIV / AIDS di Indonesia, terdapat 18.442 kasus orang tua yang menderita penyakit mematikan tersebut hingga September 2009. Mereka, kata Arist, tentu berpotensi menularkan terhadap anak berdasarkan laporan yang didapat dari Kementerian Kesehatan.”[1]
“Rabu, 22/12/2010 19.13 Wib
KPAI Banyak Temukan Kekerasan Seksual Pada Anak di Tahun 2010
Jakarta – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan banyak aduan kekerasan pada anak di tahun 2010. Dari 171 kasus pengaduan yang masuk sebanyak 67,8 persen terkait dengan kasus kekerasan .
“Pengaduan terkait dengan masalah perlindungan anak di KPAI sepanjang 2010, sebanyak 67,8 persen terkait dengan kasus kekerasan, dan 17 persen terkait dengan anak bermasalah dengan hukum. Sisanya terkait kasus anak dalam situasi darurat, kasus eksploitasi, kasus trafiking dan kasus diskriminasi,” kata Wakil Ketua KPAI Asrorun Ni’am Sholeh dalam siaran pers, Rabu (22/12/2010).
Ni’am menjabarkan, dari data tersebut, jenis kekerasan yang paling banyak terjadi kepada anak 45,7 persen (57) kasus, kekerasan fisik sebanyak 25 persen (29) kasus, penelantaran sebanyak 20,7 persen (24 kasus), dan kekerasan psikis 8,6 persen (10 kasus).
“Data tersebut menunjukan masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam memberikan perlindungan anak. Besarnya pengaduan mengenai kekerasan anak merupakan warning bagi kita sebagai bangsa untuk meningkatkan kesadaran pentingnya perlindungan anak,” terangnya.
Untuk itu, lanjut Ni’am, negara bersama masyarakat perlu menggerakan seluruh sumber daya, terutama anggaran untuk perlindungan anak. Disamping itu, dalam catatan akhir tahunnya, KPAI juga menemukan banyak anak berusia muda telah terpapar rokok yang dilakukan orang dewasa.
“Perokok seringkali membiarkan anak – anak sekitarnya terpapar oleh rokok. Orang tua dengan enak menyuruh anak – anak untuk membeli rokok dan akses membeli rokok bagi anak terbuka luas, yang berimplikasi perokok pemula semakin muda usianya,” terang Ni’am.
Fakta tersebut, tambah Ni’am, menunjukan adanya perlakukan yang salah kepada anak dilakukan secara sadar oleh masyarakat dan sering terjadi pembiaran oleh negara. “ini jelas melanggar undang – undang. Tetapi kita semua tidak memiliki sensitifitas, negara abai untuk melindungi dan publik juga menganggap hal itu bukan sesuatu yang salah,” urai Ni’am.
Sementara menurut Ketua KPAI, Maria Ulfah Anshor, untuk tahun 2011 KPAI akan konsen mengawal pengarustamaan perundang – undangan yang sensitif anak. “Pada 2011, ada RUU tentang Pengadilan Anak yang menjadi prolegnas. KPAI akan mengawal hal ini,” tuturnya.[2]
Informasi tentang kekerasan terhadap anak seperti ini kerap kali kita temui hampir disemua media. Bahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, pada Oktober 2010 lalu, juga pernah merilis ke berbagai media terkait pelanggaran HAM. Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar, pada tahun 2009 angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mencapai 143.586 kasus atau meningkat 263 persen dibanding tahun sebelumnya yang hanya 54.425 kasus.[3]
Sebelumnya juga, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga pernah mengungkapkan perihal yang sama. Dari laporan pengaduan yang masuk ke lembaganya, per tanggal 1 Desember 2010, berjumlah 277 kasus. 60 persen diantaranya didominasi klaster perlindungan khusus yaitu kasus kekerasan seksual, kekerasan fisik dan psikis, anak berhadapan dengan hukum dan trafiking (tindak pidana perdagangan anak). Dan kasus tersebut didominasi kekerasan seksual terhadap anak.[4]
Kemudian 27,8 persen kasus yang diadukan adalah klaster keluarga dan pengasuhan alternatif yang termasuk didalamnya adalah hak kuasa asuh pra, proses dan pasca perceraian, penelantaran anak oleh orang tua, adopsi yang dilakukan oleh keluarga atau kerabat dekat dan juga kasus membawa lari anak dari kuasa asuh yang sah.[5]
Meningkatnya kekerasan terhadap anak juga diakui Ketua Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Seto Mulyadi atau yang biasa disapa Kak Seto. Penyebab utama dari banyaknya kekerasan yang dialami oleh seorang anak adalah masih banyaknya sebuah paradigma lama yang selalu keliru dimana masih berpegangan untuk mendidik seorang anak harus dengan cara-cara kekerasan. Misalnya mendidik anak dengan cara dipukul, ditempeleng dan dijewer, sehingga soal itu menjadi bagian dari tindakan kekerasan dalam mendidik anak.[6]
Dan parahnya lagi, menurut Lukman Hakim Nainggolan :
“Kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi disekitar kita dan sepanjang tidak saja dilakukan oleh lingkungan keluarga anak, namun juga dilakukan oleh lingkungan keluarga anak sendiri yakni orang tua. Kasus – kasus kekerasan yang menimpa anak – anak, tidak saja terjadi diperkotaan tetapi juga dipedesaan. Namun sayang belum ada data yang lengkap mengenai ini. Sementara itu, pelaku child abuse, 68 persen dilakukan oleh orang yang dikenal anak. 34 persen dilakukan oleh orangtua kandung sendiri. Dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa anak perempuan pada situasi sekarang ini, sangatlah rentan terhadap kekerasan seksual. Alasan pada umumnya sangatlah beragam, selain tidak rasional juga mengada – ada. Sementara itu usia korban rata – rata berkisar 2 – 15 tahun bahkan diantaranya dilaporkan masih berusia 1 – 3 bulan. Para pelaku sebelum dan sesudah melakukan kekerasan seksual umumnya melakukan kekerasan, dan atau ancaman kekerasan, tipu muslihat dan serangkaian kebohongan.[7]
Perihal di atas tentunya sangat memprihatinkan bagi kita, apalagi hal semacam itu terjadi di negara yang mengakui Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai hak yang melekat pada diri setiap manusia yang dilindungi hukum. Ini merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat yang mestinya disadari untuk patuhi. Pengakuan negara akan perlindungan anak dari kekerasan, khususnya kekerasan seksual, dibuktikan dengan diratifikasinya Konvensi Perserikatan Bangsa – bangsa (PBB) tentang Hak – hak Anak (Convention on the Rights of the Child) Tahun 1989 oleh 191 negara, termasuk didalamnya Indonesia, dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden RI Nomor 36 Tahun 1990.[8] Al – hasil, Konvensi Hak Anak (KHA) tersebut menjadi hukum positif di Indonesia mengingat asas pacta sun servanda.[9]
Dengan demikian, kekerasan terhadap anak jelas sebuah tindakan yang bertentangan dengan konstitusi dan hukum positif di Indonesia. Sepatutnya, setiap warga negara wajib menghormati HAM sebagaimana yang diamanatkan Undang – undang Dasar 1945 Pasal 28B ayat (2) bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.[10]
Asas atau prinsip – prinsip umum perlindungan anak dalam KHA sebagaimana yang diadopsi Undang – undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA) menyebutkan asas nondiskriminasi (Pasal 2), kepentingan yang terbaik buat anak (Pasal 3), hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan (Pasal 6), dan penghargaan atas pendapat anak (Pasal 12).[11]
Pengingkaran prinsip tersebut, bagi Jimly Asshiddiqie merupakan kejahatan terhadap HAM karena pada dasarnya adalah tindakan yang bertentangan dengan konstitusi. Karena konstitusi merupakan sumber hukum dasar dan common platform yang mengikat seluruh bangsa Indonesia, maka kejahatan terhadap HAM dapat diartikan sebagai pengingkaran terhadap hukum dasar dan common platform tersebut.[12]
Pengakuan pentingnya perlindungan hak anak oleh negara juga disampaikan Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak Sulawesi Selatan, M. Gufran H Kordi K. Dia mengatakan bahwa merujuk pada konstitusi tersebut, menggambarkan adanya upaya pemenuhan hak dan perlindungan secara terstruktur melalui negara.[13] Hanya saja, kenyataannya, kekerasan terhadap anak masih terjadi disana sini.
Kekerasan seksual terhadap anak tidak saja terjadi di Indonesia, perihal yang sama juga terjadi di negara lain. Salah satu contoh di Philipina dan Thailand. Ancaman sodomi dan pembunuhan oleh kaum paedophilia (orang yang secara seksual tertarik pada anak) bukan berita baru lagi. Sodomi, pembunuhan dan pelacuran anak – anak dibawah umur merupakan ancaman terhadap anak jalanan di seluruh dunia.[14] Dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Persoalan ini pula yang mengusik rasa keingin-tauan kami untuk menulis terkait dengan bagaimana pengaturan perlindungan anak dari kejahatan HAM di Indonesia dan kendala penegakan hukumnya. Terutama yang bersentuhan langsung dengan kekerasan seksual terhadap anak yang merupakan extra ordinary crime[15] terhadap HAM. Karena hingga saat ini masih terlihat minimnya upaya penegakan hukum dan upaya pemulihan psikologi anak korban kekerasan seksual. Bahkan, banyak pihak terkesan lebih mempersoalankan minimnya anggaran sebagai dasar tindakan pencegahan kekerasan seksual dimaksud.
Agar pembahasan masalah ini tidak terlalu melebar, maka penulisan makalah ini kami fokuskan pada “Pengaturan Perlindungan Hukum Anak Korban Kekerasan Seksual Dalam Perspekti HAM” dan sekaligus menjadi judul makalah ini.”
[1] http : //www.republika.co.id, 1 Desember 2010.
[2] http://www.detiknews.com, 22 Desember 2010.
[3] Republika, Op Cit, 23 Oktober 2010.
[4] Ibid, 2 November 2010.
[5] Ibid.
[6] http://depkominfo.go.id, 5 April 2010.
[7] Lukman Hakim Nainggolan, Bentuk – bentuk Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Bawah Umur, Jurnal Equality, Vol 13 No. 1 Februari 2008, Hal 83.
[8] Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, Cetakan 1, Citra Aditya Bakti, 2009, Hal 15 – 17.
[9] M. Marwas & Jimmy P, Kamus Hukum, Dictionary of Law Complete Edition, Cetakan 1, Reality Publisher, Surabya, 2009, Hal 64 – 65.
[10] Yudha Pandu, Ed, UUD 1945 & Konstitusi Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2010, Hal 30.
[11] Rika Saraswati, Op Cit, Hal 18 – 19.
[12] Majda El – Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Cetakan ke 3, Prenada Media, Jakarta, 2009, Hal v.
[13] http://metronews.fajar.co.id.
[14] http;//www.ykai.net
[15] M. Marwas & Jimmy P, Op Cit, 200 – 201.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar