Selamat Datang di Blog Pribadi Saya. Terima kasih atas kunjungan Anda. Silahkan sampaikan komentar, kritik, serta saran Anda pada bagian yang telah Saya sediakan.

Getah Rekrutmen Politik Ala Jaring Laba-Laba oleh Jusman Dalle

Rabu, 03 Agustus 2011

Jakarta - Belum tuntas pekerjaan Panitia Kerja (Panja) Kursi Haram DPR untuk membongkar dan mengusut sejumlah kursi yang diduga berasal dari jual beli suara, kini DPR kembali menggulirkan rencana pembentukan Panja Mafia Anggaran.

Sementara itu, di sisi lain, skandal korupsi Nazaruddin yang diduga turut melibatkan sejumlah kader/elite Partai Demokrat, belum jua menunjukkan progresivitas sesuai harapan masyarakat. Bahkan permasalahan semakin melebar karena Nazaruddin menyebutkan ada oknum petinggi KPK yang juga ikut bermain dalam skenario tersebut.

Fenomena politik dan hukum yang terus berkelanjutan tersebut, adalah kristalisasi problem kebangsaan yang salah satunya diakibatkan oleh kebobrokan partai politik (parpol) sebagai salah satu pilar yang diharapkan mampu mengokohkan demokrasi.

Pada awalnya publik menaruh harapan besar, bahwa parpol mampu merepresentasikan kehedak rakyat dan mewujudkan tatanan kenegaraan sesuai cita-cita kita bersama. Namun ternyata, di kemudian hari parpol justru menjadi sumber dan pangkal masalah.

Tak heran jika berbagai lembaga survei merilis fakta tentang makin kecewanya masyarakat terhadap parpol yang akhirnya mengkristal menjadi apatisme kolektif terhadap politik. Kekecewaan tersebut diekspresikan melalui sejumlah artikulasi. Salah satunya pilihan untuk golput (tidak memilih) pada pemilu mendatang. Pada pemilu tahun 2009 saja, angka golput diperkirakan mencapai 40 persen.

Setelah mencuatnya berbagai skandal dengan melibatkan parpol yang lahir dari rahim reformasi, diperkirakan angka golput pada pemilu 2014 akan semakin besar. Dan putusan paling toleran masyarakat yang kecewa pada parpol pilihannya, adalah dengan mengalihkan pilihan, tentunya sembari menunggu parpol yang pas. Ini terlihat dari besarnya angka floating mass (massa mengambang) yang menembus 80% sebagaimana rilis Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 29 Mei lalu (www.inilah.com).

Spider Web

Reformasi yang datang tahun 1998 silam, memang telah membebaskan demokrasi yang sebelumnya terkooptasi di ruang gelap rezim Orde Baru. Sesuai dengan karakter dan pengejewantahan nilai-nilai dasar Hak Asasi Manusia, demokrasi memberi kebebasan bagi siapa saja untuk turut berpartisipasi.

Namun momentum tersebut justru dimanfaatkan oleh penganut nilai status quo yang diwariskan rezim Orde Baru, untuk kembali mengkonsolidasi diri. Mereka yang mengklaim dirinya reformis -tapi secara subtansial tetap menganut nilai status quo seperti akrab dengan praktek KKN-, melembagakan diri sehingga tampak demokratis. Secara prosedural dan administratif, mereka mengikuti dan lolos dalam proses seleksi demokrasi yang seremonial hingga menjadi bagian dari kekuasaan.

Orang-orang inilah yang kemudian membentuk wajah negara sebagai institusi politik untuk mengintegrasikan kekuasaan dan mengatur hubungan antar manusia, menjadi sosok egois di hadapan rakyatnya. Negara dibajak dan sekadar sebagai corong aspirasi yang sangat elitis.
Bercokolnya agen-agen status quo tersebut, tak lepas dari lemahnya sistem rekrutmen partai politik (parpol) yang menjadi jalan untuk mengakses kekuasaan. Jika kita mengekstraksi, proses mobilisasi ini terjadi karena fungsi partai politik yang lazimnya ada di negara demokratis, tidak lagi berjalan semestinya.

Sebabnya, karena demokrasi terjebak pada sistem liberalistik. Proses kaderisasi hanya menjadi sketsa mati di atas AD/ART parpol. Karena yang terjadi adalah rekrutmen ala spider web atau jaring laba-laba, yang dengan mudah ditembus oleh siapa saja, sesuai kebutuhan jangka pendek parpol.

Hal ini bisa kita saksikan pada partai Demokrat yang menjadi sorotan publik atas sejumlah skandal yang melibatkabn kader-kadernya. Sebagaimana dituliskan di awal, kasus korupsi Wisma Atlet Sea Games menyeret nama Nazaruddin.

Dari nyanyian Nazaruddin kemudian berkembang ke sejumlah nama seperti Mirwan Amir, Angelina Sondakh, bahkan Anas Urbaningrum yang merupakan Ketua Umum Demokrat juga tak luput dari nyanyian Nazaruddin. Selain itu, Andi Nurpati yang merupakan “pendatang baru” di Demokrat terseret dalam surat palsu MK yang diduga meloloskan kursi haram di DPR dari hasil jual beli.

Nama Nazaruddin dan Andi Nurpati yang tiba-tiba muncul di kepengurusan DPP Demokrat, sempat mengagetkan publik. Karena mereka tergolong orang baru, namun tiba-tiba mendapat kursi elite di partai besutan SBY tersebut. Terakhir ketahuan bahwa ternyata dua orang tersebut menjadikan Demokrat sebagai bungker untuk lolos dari jeratan kasus, sebagaimana dikatakan pengamat politik LSI, Burhanudin Muhtadi (www.republika.co.id).

Selain itu, di daerah-daerah sejumlah nama baru juga tiba-tiba muncul dan menjadi elite Demokrat. Sebutlah Walikota Makassar Ilham Arif Sirajudin yang merupakan mantan Ketua DPD Partai Golkar Sulsel, pindah dan saat ini menjadi Ketua DPD Partai Demokrat Sulsel. Disusul Muhammad Zainul Majdi, Gubernur NTB yang sebelumnya diusung dan dimenangkan oleh Partai Bulan Bintang, tiba-tiba pindah dan menjadi Ketua DPD Partai Demokrat NTB. Termasuk juga Dede Yusuf, yang sukses menduduki posisi Wakil Gubernur Jawa Barat dengan diusung Partai Amanat Nasional, pindah ke Demokrat dan berencana maju dalam Pilgub Jabar mendatang.

Dari kasus-kasus tersebut, kita melihat bahwa popularitas dan kepemilikan modal mampu menihilkan kapasitas dan integritas. Besaran ongkos kontestasi politik dan tuntutan popularitas dimanfaatkan oleh mereka yang juga “menguntungkan” partai dalam sekejap.

Fenomena ini tidak lepas dari kebutuhan partai untuk tetap survive. Baik dengan adanya figur sebagai daya ungkit elektoral, terlebih lagi kebutuhan dana yang memiliki kekuatan magnetis yang lebih kuat dan bisa merekayasa figur di tengah-tengah masyarakat yang diformat pragmatis. Apalagi negara sebesar Indonesia menuntut coverage wilayah yang besar.

Dalam hal pendanaan, sejumlah peraturan perundang-undangan, membatasi sumber keuangan parpol yang paradoks dengan sisten demokrasi liberal, diduga turut berkontribusi menambah kompleks masalah parpol di Indonesia. Misalnya larangan parpol memiliki usaha, pembatasan donasi dari donatur non anggota dan perusahaan sebagaimana tertuang di dalam Pasal 34 Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2011 mengenai Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol.

Akhirnya, proses rekrutmen politik menjadi abnormal. Kalangan elite parpol diisi oleh deretan pengusaha. Mereka inilah yang nantinya menjadi penguasa. Berdasarkan data, jumlah anggota DPR RI saat ini, sebesar 40 persen berlatar belakang pengusaha. Sisanya menjadi pengusaha setelah menjadi anggota DPR/DPRD dengan memanfaatkan posisi untuk mengambil proyek-proyek pemerintah. Tak heran jika secara keseluruhan dari level pusat hingga daerah, jumlah politisi dari kalangan pengusaha menembus angka 75 persen.

Dari sini, proses interest agregation (penggabungan kepentingan) dan interest articulation (perumusan kepentingan), dikendalikan oleh sekelompok pihak yang tidak lagi berfikir untuk kepentingan rakyat. Akibat mahalnya kontestasi politik, maka break event point adalah target utama ketika mereka berhasil menduduki jabatan di pemerintahan. Secara internal, masing-masing mereka juga berkompetisi dengan logika bisnis politik.

Maka berangkat dari logika tersebut, kita bisa mencerna jika fungsi parpol sebagai sarana dan saluran komunikasi politik bagi seluruh lapisan masyarakat, akhirnya tersumbat. Dan secara bersamaan, parpol justru berubah menjadi arena pertarungan kepentingan. Kartel bisnis politik di internal parpol menyebabkan terjadinya friksi yang tajam.

Apalagi saat suksesi kepemimpinan parpol (Kongres atau Muktamar). Kita bisa saksikan bahwa hampir semua partai politik di Indonesia di kemudian hari “melahirkan” partai-partai baru, sebagai bentuk pelembagaan kekecewaan. Efek paling minimal adalah terbangunnya faksi yang pasti turut mempengaruhi kinerja parpol. Hal ini terjadi karena sedari awal ideologi telah dinisbikan sebagai perekat.

Parpol tidak lagi menjadi lembaga politik yang mampu meredam konflik dan mempertemukan berbagai kepentingan, akan tetapi keberadaan parpol justru kontraproduktif. Menjadi tempat semai perpecahan yang secara kausal berpengaruh terhadap tata pemerintahan.

Dari kesadaran tersebut, jelaslah bahwa perlu pembenahan dalam pola rekrutmen serta pengetatan proses kaderisasi parpol sehingga mampu melahirkan kader yang “benar-benar menjadi kader”. Dalam hal ini, maka ideologi partai menjadi fundamen utama. Karena menjadi dasar dari setiap derivasi aktivitas politik. Pertanyaannya, adakah parpol yang masih ideologis?

Penulis adalah:
• Direktur Eksekutif TRANS Institute Indonesia
• Analis Ekonomi Politik Society Research and Humanity Development (SERUM) Institute.
• Pengurus Pusat KAMMI

Selasa, 02/08/2011 16:49 WIB

(nrl/nrl)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2010-2011 mr giepie All Rights Reserved.
Template Design by CSATLZone | Published by Jambi Law Club | Powered by Blogger.com.