Selamat Datang di Blog Pribadi Saya. Terima kasih atas kunjungan Anda. Silahkan sampaikan komentar, kritik, serta saran Anda pada bagian yang telah Saya sediakan.

Pengusaha Tidak Membayar Gaji Pekerja Dapat Dipidana

Selasa, 07 Februari 2023 | 0 komentar

Pekerja outsourcing di PT. xxxxxx Park mengaku bahwa sebanyak 47 karyawan telah 2 bulan (Nop dan Des 2022) tidak menerima / belum menerima gaji dari perusahaan outsourcing PT. xxxx Samudera xxxxxx; Ketika meminta kepada manajemen, hanya dijanjikan tanpa ada realisasi. Bagaimana solusinya dan apa yang harus kami lakukan ?

PENJELASAN :

Mengenai Tanggung Jawab Membayar Upah:

Menurut Pasal 18 PP No. 35/2021 tentang PKWT, PKWTT, WK & WI, dan PHK :

Pasal 18

(1)  Hubungan Kerja antara Perusahaan Alih Daya dengan Pekerja/Buruh yang dipekerjakan, didasarkan pada PKWT atau PKWTT.

(2)  PKWT atau PKWTT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat secara tertulis.

(3)  Pelindungan Pekerja/Buruh, Upah, kesejahteraan, syarat kerja, dan perselisihan yang timbul dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab Perusahaan Alih Daya.

(4)  Pelindungan Pekerja/Buruh, Upah, kesejahteraan, syarat kerja, dan perselisihan yang timbul sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama;

Menurut ketentuan di atas, bawah upah menjadi tanggung jawab perusahaan outsourcing. Dengan demikian, pekerja hanya dapat menagih/meminta pertanggungjawaban kepada perusahaan outsourcing pemberi kerja.

Akibat Hukum Terlambat Membayar Upah Bagi Pengusaha:

Pengusaha yang terlambat membayar dan/atau tidak membayar upah dikenai denda (Pasal 61 ayat (1) PP 36/2021 tentang Pengupahan) dengan ketentuan: 

a.     Mulai dari hari keempat sampai hari kedelapan terhitung tanggal seharusnya upah dibayar, dikenakan denda sebesar 5% untuk setiap hari keterlambatan dari upah yang seharusnya dibayarkan;

b.     Sesudah hari kedelapan, apabila upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud pada huruf a ditambah 1% untuk setiap hari keterlambatan dengan ketentuan 1 bulan tidak boleh melebihi 50% dari upah yang seharusnya dibayarkan; dan

c.      Sesudah sebulan, apabila upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b ditambah bunga sebesar suku bunga tertinggi yang berlaku pada bank pemerintah.

Pengenaan denda tersebut tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap membayar upah kepada pekerja (Pasal 61 ayat (2) PP 36/2021);

Ancaman Pidana :

Selain itu, pengusaha yang melanggar kewajibannya dengan tidak membayar upah pekerja dikenakan sanksi pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 4 tahun dan/atau denda minimal Rp100 juta dan maksimal Rp400 juta (Pasal 81 angka 63 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 185 ayat (1) UU Ketenagakerjaan);

Mekanisme Penyelesaian dan Upaya Hukum : 

Mekanisme penyelesaian perselisihan Berdasarkan UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;

1.    Bipartit;

2.    Tripartit :

-      Mediasi (perselisihan hak). Bilamana anjuran tidak dilaksanakan, maka dapat diajukan permohonan gugatan ke pengadilan hubungan industrial di wilayah hukum setempat;

3.    Pengadilan Hubungan Industrial;

Atau dapat membuat laporan ke Polisi setempat atas dugaan pelanggaran ketentuan Pasal 81 angka 63 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 185 ayat (1) UU Ketenagakerjaan;

Demikian. semoga bermanfaat;

Predator Anak Menebar “Kemaluan” di Negara Hukum

Kamis, 16 Juli 2020 | 0 komentar

#Rumah Aman Tak Lagi Aman di Lampung Timur

Tindakan pemerkosaan yang diduga dilakukan oknum dari Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur belum lama ini terhadap korban pemerkosaan yang semestinya Ia lindungi, layak disebut predator anak bertopeng malaikat menebar “kemaluan” dan terkesan dibiarkan hidup.

Ini lah yang tengah terjadi di negara hukum Indonesia. Melakukan perbuatan yang melanggar etika, kaidah dan norma kesusilaan terkesan hal yang lumrah. Apalagi jika tidak ketahuan, perbuatan itu berpotensi diulang dan diulangi lagi. Ironinya lagi, tindakan asusila itu dilakukan terhadap remaja berinisial N (14), orang yang berada dalam “rumah aman, dan dilakukan oleh pelindungnya sendiri.

Perkara asusila terhadap anak bukan barang baru, terjadi dibanyak tempat dan tiap tahun mengalami peningkatan. Pelakunya biasa siapa saja. Menurut data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat. Pada tahun 2019, ditemukan sebanyak 350 perkara. Jumlah itu meningkat 70 % dibanding tahun sebelumnya. Presiden pun pernah menyampaikan bahwa kasus kekerasan pada anak yang dilaporkan pada 2015 tercatat 1.975 dan meningkat menjadi 6.820 pada 2016.

Perbuatan ini tak boleh dibiarkan hidup dan berkembang. “Kemaluan” itu bila perlu “dimatikan.” Negeri mestinya tegas, sanksi berat terhadap pelaku harus segera diputuskan dan harusnya dapat dieksekusi demi terwujudnya ketertiban hukum. Ingat, Perlindungan hukum terhadap korban pemerkosaan jangan sekedar diatas kertas (by giving regulation) namun juga wajib diaplikasikan (by law enforcement).

Disamping itu, konsep pertanggung-jawaban pidana sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum namun juga menyangkut perihal nilai-nilai moral atau kesusilaan umum yang dianut oleh suatu masyarakat atau kelompok–kelompok dalam masyarakat. Hal ini dilakukan agar pertanggungjawaban pidana itu benar-benar memenuhi rasa keadilan. Jadi sudah sewajarnya negera memberikan perhatian lebih kepada para korban kejahatan yang mungkin mengalami penderitaan, baik secara ekonomi, fisik, maupun psikis.

Dari perspektif hukum, perbuatan oknum tersebut jelas bertentangan UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang (Perpu) No 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (PA) jo UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 Perlindungan Anak (PA).

Menurut Pasal 76D UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 Perlindungan Anak (PA) bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pelaku demikian menurut ketentuan Pasal 81 ayat Undang-undang No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 23 Tahun 2002 Tentang (PA), diancam dengan hukuman pidana penjara minimal 5 (lima) tahun dan maksimal 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5 (lima) Milyar.

Pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) apabila dilakukan oleh aparat yang menangani perlindungan anak. Apabila perbuatan itu mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, maka pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara minimal 10 (sepuluh) tahun dan maksimal 20 (dua puluh) tahun.

Bahwa pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Tindakan tersebut diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.

Kebiri “Kemaluan” Kimia Setengah Hati

Berkaca pada perkara M Aris di Pengadilan Negeri Mojokerto pada tahun 2019 lalu, dimana majelis hakim telah menjatuhkan vonis pidana 12 tahun penjara dan denda Rp 100 juta, subsider 6 bulan kurungan plus tindakan kebiri kimia. Meskipun telah divonis demikian, eksekusi kebiri kimia pasca pidana pokoknya dijalankan nanti tidak dapat dieksekusi kejaksaan, pasalnya teknis pelaksanannya belum diatur sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 81A jo Pasal 81 ayat (7).

Pemerintah terkesan setengah hati menerapkan regulasi teknis pelaksanaan kebiri kimia tersebut. Presiden seharusnya segera menerbitkan peraturan pemerintah demi kepastian hukum. Apalagi presiden sendiri pernah menegaskan bahwa proses penegakan hukum yang memberikan efek jera terutama terkait kasus pedofilia dan kekerasan seksual pada anak, dan juga layanan pendampingan hukum sangat penting diberikan. Namun bagaimana bisa direalisasikan jika tidak didukung aturan teknis untuk itu.

Masalah lainnya adalah adanya penolakan dari Ikatan Dokter Indonesia. Organisasi profesi dokter tersebut menolak dilibatkan sebagai eksekutor kebiri kimia. Alasannya Tindakan tersebut bertentangan dengan sumpah dokter dan kode etik Kedokteran Indonesia. Belum lagi protes dari Penggiat HAM. Mereka berpandangan bahwa hukuman kebiri adalah hukuman yang merampas hak konstitusional warga negara yang dijamin UUD untuk membentuk keturunan dan melanjutkan keturunan.

Namun disisi lain, tujuan perlindungan anak yaitu untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Dan penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak.

Siapun pelakunya, termasuk oknum yang kini telah ditetapkan penyidik Polda Lampung sebagai tersangka tersebut sepatutnya mendapatkan hukuman maksimal dan tindakan kebiri “kemaluan” secara kimia apabila terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan tersebut. Dan sudah sepatutnya pula kepentingan korban menjadi pertimbangan utama dan untuk memenuhi rasa keadilan.

Penghinaan Terhadap Lembaga Perlindungan Anak

Tindakan pemerkosaan yang diduga dilakukan oknum P2TP2A Lampung Timur terhadap korban pemerkosaan yang berada dalam perlindungannya, dan bahkan juga diduga dijual kepada pria hidung belang lainnya merupakan tamparan sekaligus penghinaan terhadap institusi perlindungan anak.

Lembaga yang semestinya memberikan perlindungan terhadap anak, benteng terakhir bagi anak korban kekerasan seksual untuk mendapatkan perlindungan hukum, justru menjadi melahirkan predator anak. Rumah aman yang seharusnya aman dan nyaman bagi anak sudah tidak aman lagi.

Sudah seharusnya kementrian terkait dan pemerintah setempat melakukan evaluasi dan berbenar diri, tidak hanya sebatas regulasi, teknis pelayanan dan penanganan anak korban kekerasan seksual, tetapi termasuk juga didalamnya teknis perekrutan tenaga pendamping dan pengawasannya.

Jika tidak segera berbenah, tidak tertutup kemungkinan Kembali berjatuhan korban berikut karena faktanya predator anak bisa siapa saja, termasuk mereka yang mempunyai kewajiban melindungi. Namun alangkah naifnya bila rumah aman tak lagi aman bagi anak korban keekrasan seksual.

Referensi :

  1. Harrys Pratama Teguh, Teori dan Praktek Perlindungan Anak dalam Hukum Pidana, ANDI, Yogyakarta, 2018
  2. Hanafi Mahrus, Sisitem Pertanggung Jawaban Pidana, Cetakan pertama, Jakarta, Rajawali Pers, 2015.
  3. https://news.detik.com/berita/d-5082697/ironi-korban-perkosaan-justru-diduga-diperkosa-di-rumah-aman, diakses pada tanggal 11 Juli 2020 pukul 13.45 Wib
  4. https://www.kompas.tv/article/92305/miris-anak-korban-pemerkosaan-diperkosa-lagi-di-rumah-aman, diakses pada tanggal 11 Juli 2020 pukul 13.46 Wib
  5. https://www.vice.com/id_id/article/jgxj44/relawan-rumah-aman-lampung-perkosa-lagi-penyintas-pemerkosaan-bukti-urgensi-ruu-pks, diakses pada tanggal 11 Juli 2020 pukul 13.47 Wib
  6. https://www.suara.com/news/2020/07/06/140138/gadis-14-tahun-korban-perkosaan-kembali-diperkosa-pejabat-di-rumah-aman, diakses pada tanggal 11 Juli 2020 pukul 13.47 Wib
  7. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190829080113-12-425597/aturan-teknis-eksekusi-hukuman-kebiri-tinggal-diteken-jokowi, diakses pada tanggal 11 Juli 2020 pukul 13.48 Wib
  8. https://www.tempo.co/bbc/4587/hukuman-kebiri-kimia-pertama-untuk-pemerkosa-anak-belum-bisa-diterapkan-tanpa-petunjuk-teknis, diakses pada tanggal 11 Juli 2020 pukul 14.00 Wib
  9. https://lokadata.id/artikel/2020-kekerasan-pada-anak-tak-menurun, diakses pada tanggal 11 Juli 2020 pukul 15.19 Wib
  10. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/berita-hukum-dan-perundang-undangan/2978-presiden-perppu-kebiri-untuk-melindungi-anak-dan-efek-jera.html, diakses pada tanggal 11 Juli 2020 pukul 15.14 Wib
  11. https://nasional.kompas.com/read/2019/08/27/08423561/kejagung-soal-kebiri-kimia-ini-kan-melaksanakan-putusan-sesuai-uu?page=all, diakses pada tanggal 11 Juli 2020 pukul 15.17 Wib
  12. https://lokadata.id/data/kasus-kekerasan-seksual-terhadap-anak-2016-2019-1578639190#:~:text=Lembaga%20Perlindungan%20Saksi%20dan%20Korban,70%20persen%20dibandingkan%20tahun%20sebelumnya., diakses pada tanggal 11 Juli 2020 pukul 15.21 Wib
  13. https://lokadata.id/artikel/2020-kekerasan-pada-anak-tak-menurun, diakses pada tanggal 11 Juli 2020 pukul 18.01 Wib.
  14. https://www.kompasiana.com/robbikhadafi/5d6338860d823037e24389c2/cabut-pasal-hukuman-kebiri-pada-pelaku-kejahatan-seksual, diakses pada tanggal 11 Juli 2020 pukul 18.11 Wib.

 


Mendirikan Bangunan Tanpa IMB adalah Perbuatan Melawan Hukum

Minggu, 17 Maret 2019 | 0 komentar

Apakah perbuatan mendirikan bangunan tanpa izin mendirikan bangunan merupakan perbuatan melawan hukum.

Jawaban :

Bahwa bangunan gedung sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 1 UU Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.

Menurut Pasal 7 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) bahwa setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung. Adapun persyaratan administratif bangunan meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Sedangkan persyaratan teknis meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan gedung.

Kemudian pada Pasal 8 ayat (1) menegaskan bahwa setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif yang meliputi:
a. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;
b. status kepemilikan bangunan gedung; dan
c. izin mendirikan bangunan gedung; sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) bahwa setiap bangunan yang didirikan harus memenuhi persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung diantaranya persyaratan peruntukan lokasi, kepadatan, ketinggian, dan jarak bebas bangunan gedung.

Menurut Pasal 13 Ayat (1) bahwa persyaratan jarak bebas bangunan gedung meliputi:
a. garis sempadan bangunan gedung dengan as jalan, tepi sungai, tepi pantai, jalan kereta api, dan/atau jaringan tegangan tinggi;
b. jarak antara bangunan gedung dengan batas-batas persil, dan jarak antara as jalan dan pagar halaman yang diizinkan pada lokasi yang bersangkutan.

Bahwa apabila mendirikan bangunan berada di dalam garis sepadan bangunan dan belum memiliki IMB dan Merujuk pada ketentuan-ketentuan di atas, maka menjadi kewajiban bagi pihak yang memiliki hak atas bidang tanah yang mendirikan bangunan atau mereka yang memiliki hak atas bangunan tersebut untuk memenuhi persyaratan administratif dan teknis, diantaranya wajib memiliki IMB dan wajib memperhatikan jarak bebas bangunan (tidak mendirikan bangunan pada garis sepadan bangunan.

Bilamana kewajiban pemenuhan syarat tersebut tidak dipenuhi, maka sesuai ketentuan Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46 maka pihak yang mendirikan dan memiliki hak atas bangunan tersebut dapat dikenakan sanksi administrasi, sanksi pidana dan denda.

Selain itu, dengan tidak adanya IMB pada bangunan tersebut maka ada kewajiban pajak dan retribusi sebagaimana dimaksud pada Pasal 141, Pasal 142 ayat (1) huruf a dan ayat (2) UU Pajak dan Retribusi Daerah yang tidak dipenuhi.  Maka berdasarkan Pasal 172 dan Pasal 174 dapat dikenakan sanksi pidan.

Dengan demikian, perbuatan mendirikan bangunan di dalam garis sepadan bangunan dan belum memiliki IMB, dan menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban membayar pajak dan retribusi daerah atas IMB maka perbuatan tersebut adalah perbuatan melawan hukum.

Kasus “Daging 80 Jt” Melawan “Kekuasaan” Penegak Hukum & Pers.

Senin, 14 Januari 2019 | 0 komentar


Dalam perspektif hukum, setiap orang yang disangka, ditangkap, ditangkap, ditahan, ditahan dan atau dihadapkan dimuka pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memiliki kekuatan hukum tetap (Presumption of innocence). Hal demikian  berlaku juga bagi pelaku dan pihak-pihak lain yang diduga terkait kasus asuusila “daging 80 jt” yang saat ini sedang ditangani Polda Jawa Timur.

Hal tersebut sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan dipengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Tindakan Kapolda Jatim, Irjen Pol Luki Hermawan di Mapolda Jatim (11/1/2019)[1] menyampaikan informasi secara terbuka kepada Pers dengan menyebutkan nama lengkap dan profesi ke-enam orang yang diduga terkait prostitusi online (awalnya rilis  inisial, kemudian menyebutkan nama)[2] adalah tindakan sewenang-wenang sebagai pejabat negara. bahkan menyebut secara vulgar nama VA, yang notabene masih sebagai saksi, akan ditingkatkan menjadi terssangka.[3] Dilain sisi, informasi tersebut menjadi santapan empuk rekan-rekan Pers dan disampaikan secara vulgar kepada masyarakat, baik tulisan nama secara lengkap maupun foto/gambar melalui medianya masing-masing.

Informasi tersebut beredar cepat, opini pun terbentuk dan mendapat tanggapan beragam dari masyarakat. Mulai dari mencemo’oh, bahan lelucon, meme, dll, dan ramai diperbincangkan di media sosial. Bahkan opini yang terbentuk mengarah pada justifikasi (menghakimi). Sementara belum tentu mereka yang diduga terlibat itu benar menurut hukum terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan perbuatan pidana dimaksud. Faktanya saat ini, kasus masih dalam proses penyidikan dan belum satupun diputuskan bersalah oleh pengadilan. Dimana sebagian lagi berstatus sebagai saksi.

Bahkan bila mengacu pada Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, menegaskan bahwa saksi dan korban  berhak atas kerahasiaan identitasnya. Bahkan saksi pelaku, pelapor dan saksi ahli pun mempunyai hak yang sama. Mengenai hak tersebut diberikan berdasarkan putusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Benar menurut hukum bahwa Polri berkewajiban mengungkap suatu peristiwa pidana dan menyerahkannya kepada penuntut umum untuk dihadapkan dimuka pengadilan. Karena Polri adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan kamtibmas, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, UU Polri). Disamping itu Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara kamtibmas, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri (Pasal 5 UU Polri).

Polri memiliki tugas pokok sebagaimana dimaksud Pasal 13 (khusus huruf b – penegakan hukum) s/d Pasal 14 (khusus huruf g – berkenaan dengan tindak pidana), dan untuk melaksanakannya Polri diberi wewenang sebagaimana ketentuan Pasal 15 s/d 16 UU Polri. Adanya kewenangan berdasarkan atribusi ini, penyidik memiliki “kekuasaan” untuk melakukan penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, dll guna kepentingan penyidikan (lidik dan sidik) sesuai UU Polri, KUHAP, serta peraturan teknis lainnya. Atas dasar inilah polisi dapat bertindak atau mengambil tindakan hukum khusunya terhadap pelaku dan pihak-pihak terkait kasus asusila “jual beli daging 80 jt.”

Kemudian, benar menurut hukum bahwa pers nasional berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Pers nasional memiliki hak untuk mencari, memperoleh, menyebarkan gagasan dan informasi, pers nasional bebas dari pembredelan, penyensoran dan pelarangan siaran. Bahkan dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan dihadapan hukum, wartawan punya hak tolak. Kesemua itu sebagai wujud kemerdekaan pers sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.  Kemerdekan itu memberikan “kekuasaan” kepada Pers menjalankan fungsi jurnalistiknya, diantaranya adalah menyampaikan informasi kepada masyarakat sebagai bagian dari hak asasi warga Negara.

Berpijak pada konstitusi, Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaats) sebagimana Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebagai negara hukum maka segala sesuatu itu dilakukan berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kekuasaan (Machtsstaats). Hal ini dapat diartikan bahwa segala sesuatu tindakan Polri maupun Pers harus berdasarkan hukum, dan sesuai asas equality before the law (Pasal 27 UUD 1945) bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Kemudian, bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil sertal perlakuan yang sama di hadapan hukum, dan setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi (Pasal 28 D ayat (1 )dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945). Ini menunjukan bahwa adanya pengakuan dan jaminan perlindungan hukum sebagai HAM oleh Negara. Hak ini melekat pada diri mereka-mereka yang terkait kasus asusila “daging 80 jt.”

Tanpa mengambaikan prosedur hukum yang telah ditempuh kepolisian dalam mengungkap kasus,  sepatutnya kepolisian sebagai sumber informasi penanganan perkara asusila tidak membuka identitas saksi / saksi korban sebagaimana pelaku (mucikari), termasuk mereka yang masuk dalam daftar 45 model dan 100 artis,[4] cukup menyebut inisial saja. Membuka identitas akan memberi dampak dan berpotensi menimbulkan stigma negatif dimasyarakat. Tentunya ini melanggar hak-hak dan kepentingan hukum tersangka, saksi / saksi korban dan keluarganya. Sementara Polri dalam melaksanakan tujuannya sebagaimana dimaksud Pasal 4 UU Polri berkewajiban menjunjung tinggi HAM (lihat juga, Perkapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri).

Sementara Pers, meskipun diberikan kebebasan dalam menjalankan fungsinya akan tetapi dalam menyampaikan peristiwa dan opini wajib menghormati norma-norma agama, rasa kekesusilaan masyarakat dan asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat 1 UU No. 40 Tahun 1999 tenang Pers, UU Pers). Hal demikian juga bagian dari etika jurnalistik yang wajib dijunjung tinggi oleh Pers.

Menyampaikan informasi yang benar kepada masyarakat adalah kewajiban Pers, akan tetapi tidak boleh juga mengabaikan kaedah lainnya. Pers bukan sekedar penyampai berita, akan tetapi juga media pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Pemberitaan pers atas kasus ini tidak mencerminkan itu. Bahkan menurut Machyudin Agung Harahap[5], Pers dewasa ini juga berfungsi membentuk pendapat umum.

Identitas, profesi dan bahkan foto / gambar mereka yang terkait kasus asusila disampaikan secara terbuka kepada publik. Hal demikian berpotensi menimbulkan stigma negatif bagi diri pelaku, saksi / saksi korban dan keluargnya sementara perkara baru begulir dan belum ada keputusan hukum berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijs) yang menyatakan bersalah.

Ini buruk bagi penegakan hukum dan kemerdekaan pers di Indonesia. Polri yang seharusnya bertindak berdasarkan hukum dan menjunjung tinggi HAM justru melanggar hukum dan HAM, rasa kesusilaan masyarakat, dan mengabaikan asas praduga tak bersalah.

Demikian pula Pers. Bahkan Pers yang seharusnya sebagai kontrol sosial  terhadap tindakan aparat penegak hukum, justru ikut melanggar hukum dan melanggar kode etik jurnalis. Dilain sisi, Dewan Pers dan Komisi Penyiaran diam ditempat tanpa ada tindakan apapun terhadap Pers yang kebablasan.

Mengutip pendapat ahli :[6]
Power tends to corrupt and absolute tends to corrupt absolutely. (Kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang mutlak cenderung untuk korupsi secara mutlak pula). Adegium ini berlaku universal, baik di Timur maupun di Barat. Kekuasaan memang mengandung dua sisi sekaligus, yakni sisi positif dan negatif. Dikatakan positif karena kekuasaan yang baik sangat efektif menegakan hukum dan keadilan secara bermartabat. Kekuasaan juga mengandung unsur negatif yakni manakala kekuasaan diarahkan kepada bentuk kesewenang-wenangan dan kedzaliman.

Dengan begitu besarnya kewenangan Polri dalam penegakan hukum dan bebasnya Pers dalam menjalan fungsi jurnalis, keduanya berpotensi “korup.” Untuk itu Polri dituntut profesional, taat hukum, menjunjung tinggi etika profesi. Demikian pula Pers, dan dalam menyampaikan berita dan opini wajib menghormati norma-norma agama, rasa kekesusilaan masyarakat dan asas praduga tak bersalah. Bilamana Polri dan Pers “korup,” tidak dapat digambarkan apa yang bakal terjadi dikemudian hari. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan terjadinya kesewenang-wenangan oleh aparat penegak hukum dan lacurnya, hal demikian diamini Pers. Opini pembenaran dibentuk, dan tak ada lagi kontrol sosial.

Semoga hal demikian tidak terjadi. Penulis masih meyakini bahwa Polri masih mampu bertindak profesional, taat hukum, dan dalam penanganan perkara pidana mengedepankan asas praduga tak bersalah.. Demikian pula Pers, mampu melaksanakan amanat UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. 

Harapannya kedepan, Polri dan Pers lebih bijaksana dalam menyampaikan informasi untuk kepentingan publik, taat pada aturan hukum yang berlaku, dalam menyampaikan informasi kasus asusila haruslah memperhatikan kaedah-kaedah yang berlaku di masyarakat, dan tiada lagi kesewenang-wenangan menjalakan “kekuasaannya.”

Referensi :

  1. Machyudin Agung Harahap, Kapitalisme Media – Ekonomi Politik Berita dan Diskursus Televisi, Aura Pustaka, Yogjakarta, 2013, hal. 19-11.
  2. Majda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia Dari UUD 1945 Sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Edisi Pertama Cetakan ke–3, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hal. 30.
  3. https://www.youtube.com/watch?v=YfAxCsKqzAY, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 00.10 Wib.
  4. https://pojoksatu.id/news/berita-nasional/2019/01/11/rilis-terbaru-polda-jatim-nama-nama-artis-terlibat-prostitusi-online/, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 00.01 Wib.
  5. https://www.youtube.com/watch?v=M7806X6dm4w, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 00.23 Wib.
  6. http://jabar.tribunnews.com/2019/01/12/ini-enam-sosok-dan-foto-artis-yang-akan-dipanggil-polda-jatim-terkait-kasusu-prostitusi-online, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 00.26 Wib.
  7. https://news.okezone.com/read/2019/01/13/340/2003851/namanya-disebut-polda-jatim-soal-prostitusi-online-ini-cuitan-finalis-puteri-indonesia, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 00.29 Wib.
  8. http://suryamalang.tribunnews.com/2019/01/14/vanessa-angel-akui-tak-terlibat-prostitusi-artis-polda-jatim-punya-versi-lain-soal-sepak-terjangnya, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 17.29 WIB.
  9. http://suryamalang.tribunnews.com/2019/01/11/artis-finalis-puteri-indonesia-terkait-dugaan-prostitusi-ini-langkah-polda-jatim-saat-mengusutnya, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 17.36 WIB.
  10. https://www.suara.com/news/2019/01/08/124036/polisi-gelar-perkara-kasus-prostitusi-online-vanessa-angel, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 17.40 Wib.
  11. http://www.tribunnews.com/nasional/2019/01/11/polda-jatim-beberkan-6-artis-yang-diduga-terlibat-prostitusi-online-ada-2-finalis-puteri-indonesia, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 17.45 Wib.
  12. http://makassar.tribunnews.com/2019/01/06/dibayar-rp-80-juta-artis-vanessa-angel-inisial-va-kencan-di-hotel-lelaki-ini-bukan-orang-biasa, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 23.57 WIB.
  13. https://www.liputan6.com/showbiz/read/3864510/berani-bayar-rp-80-juta-pengusaha-yang-memesan-artis-va-bergerak-di-bidang-jasa, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pada pukul 23.58 Wib.
  14. https://idreporter.net/v/rela-bayar-rp-80-juta-begini-alasan-pria-ini-pilih-vanessa-angel-ketimbang-artis-lain-cAIKR1wTWoI.html, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 23.59 WIB.




[2] https://www.youtube.com/watch?v=YfAxCsKqzAY, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 00.10 Wib.
[5] Machyudin Agung Harahap, Kapitalisme Media – Ekonomi Politik Berita dan Diskursus Televisi, Aura Pustaka, Yogjakarta, 2013, hal. 19-11
[6] Majda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia Dari UUD 1945 Sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Edisi Pertama Cetakan ke–3,  Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hal. 30.

Unsur Pidana & Ancaman Hukuman Tindak Pidana Korupsi - Part II

Jumat, 11 Januari 2019 | 0 komentar

Adapun unsur pidana dan ancaman hukuman tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi (Part II), sebagai berikut : 

Pasal 7 Ayat (1) : 
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratusjuta rupiah) dan paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah): 
  1. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakuakn perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dlam keadaan perang; 
  2. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dimaksud dalam huruf a (angka 1, red); 
  3. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan tentara nasional indonesia dan atau kepolisisan negara republik indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negaradalam keadaaan perang; atau 
  4. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan tentara nasional indonesia dan atau kepolisian negara republik indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c (angka 3, red). 
Unsur-unsur : 
Hurud a (Angka 1, red) : 
  1. Pemborong, ahli bangunan pada waktu membuat bangunan, atau 
  2. Penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, 
  3. Melakuakan perbuatan curang 
  4. Dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau 
  5. Keselamatan negara dalam keadaan perang 
huruf b (Angka 2, red) : 
  1. Setiap orang 
  2. Bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, 
  3. Sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dimaksud dalam huruf a (angka 1, red); 
Huruf c (Angka 3, red) : 
  1. Setiap orang 
  2. Pada waktu menyerahkan barang keperluan tentara nasional indonesia dan atau kepolisisan negara republik indonesia 
  3. Melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaaan perang; atau 
Huruf d (Angka 4, red) : 
  1. Setiap orang 
  2. Yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan tentara nasional indonesia dan atau kepolisian negara republik indonesia 
  3. Dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c (angka 3, red). 
Ancaman hukuman : 
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratusjuta rupiah) dan paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah). 

Pasal 7 Ayat (2) : 
Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barnag keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 

Unsur-unsur : 
  1. Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan, atau 
  2. Orang yang menerima penyerahan barnag keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan 
  3. Membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a (angka 1, red) atau huruf c (angka 3, red),  
Ancaman hukum : 
Dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 

Pasal 8 : 
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut. 

Unsur-unsur : 
  1. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri. 
  2. Ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, 
  3. Dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau 
  4. Membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau 
  5. Membantu dalam melakukan perbuatan tersebut. 
Ancaman hukuman : 
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, dan pidana denda sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), 

Pasal 9 : 
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (sati\u) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp150.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi. 

Unsur – unsur : 
  1. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri 
  2. Diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, 
  3. Dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi. 
Ancaman hukuman : 
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (sati\u) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp150.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). 

Pasal 10 : 
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja : 
  1. Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau 
  2. Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut, atau 
  3. Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut. 
Unsur – unsur : 
Huruf a (Angka 1, red) : 
  1. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri. 
  2. Diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, 
  3. Dengan sengaja 
  4. Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya. 
Huruf b (Angka 2, red) : 
  1. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri 
  2. Diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, 
  3. Dengan sengaja, 
  4. Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut, atau 
Huruf c (Angka 3, red) : 
  1. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri 
  2. Diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, 
  3. Dengan sengaja, 
  4. Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut, 
Ancaman hukuman : 
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah). 

Unsur Pidana & Ancaman Hukuman Tindak Pidana Korupsi - Part I

Kamis, 10 Januari 2019 | 0 komentar

Adapun unsur pidana & ancaman hukuman tindak pidana korupsi (Tipikor) berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi (Part I), diantaranya sebagai berikut : 

Pasal 2 Ayat (1) : 
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 

Unsur – unsur : 
  1. Setiap orang, 
  2. yang secara melawan hukum, 
  3. melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, 
  4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 
Ancaman hukum : 
Dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 

Pasal 2 Ayat (2) : 
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. 

Unsur – unsur : 
  1. Setiap orang, 
  2. Yang secara melawan hukum, 
  3. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, 
  4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, 
  5. Dalam keadaan tertentu, 
Ancaman hukuman : 
Pidana mati. 

Pasal 3 : 
Bahwa Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 

Unsur-unsur : 
  1. Setiap orang, 
  2. dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, 
  3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, 
  4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, 
Ancaman hukuman : 
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 

Pasal 4 : 
Bahwa Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. 


Pasal 5 Ayat (1) : 
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang : 
  1. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau 
  2. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. 
Unsur-unsur : 
angka 1 :
  1. setiap orang, 
  2. memberi atau menjanjikan sesuatu 
  3. kepada pegawai negri atau penyelenggara negara, 
  4. dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, 
  5. yang bertentangan dengan kewajibannya 
atau 
angka 2 :
  1. setiap orang, 
  2. memberi sesuatu, 
  3. kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara 
  4. karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, 
  5. dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. 
Ancaman Hukuman : 
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun, dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) 

Pasal Ayat (2) : 
Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 

Unsur-unsur : 
angka 1 :
  1. setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara, 
  2. merima pemberian atau janji 
  3. dari setiap orang (orang atau badan hukum) 
  4. dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, 
  5. yang bertentangan dengan kewajibannya 
atau 
angka 2 :
  1. setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara, 
  2. menerima pemberian atau janji, 
  3. dari setiap orang (orang atau badan hukum). 
  4. karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, 
  5. dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. 
Ancaman hukuman : 
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun, dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). 

Pasal 6 Ayat (1) : 
Dipidana dengan pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus liam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang : 
  1. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau 
  2. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. 
Unsur – unsur : 
angka 1 :
  1. Setiap orang, 
  2. memberi atau menjanjikan sesuatu, 
  3. Kepada hakim, 
  4. dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili 
atau, 
angka 2 :
  1. setiap orang, 
  2. memberi atau menjanjikan sesuatu, 
  3. kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, 
  4. dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, 
  5. berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. 
Ancaman hukuman : 
Dipidana dengan pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus liam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) 

Pasal 6 Ayat (2) : 
Bagi hakim yang menerima pemberian pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 

Unsur-unsur : 
angka 1 :
  1. hakim 
  2. menerima pemberian atau janji sbgmana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, 
Ancaman hukum : 
Dipidana dengan pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus liam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) 

atau, 
angka 2 :
  1. advokat, 
  2. menerima pemberian atau janji sbgmana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, 
Ancaman hukum : 
Dipidana dengan pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus liam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). 
 
© Copyright 2010-2011 mr giepie All Rights Reserved.
Template Design by CSATLZone | Published by Jambi Law Club | Powered by Blogger.com.