Selamat Datang di Blog Pribadi Saya. Terima kasih atas kunjungan Anda. Silahkan sampaikan komentar, kritik, serta saran Anda pada bagian yang telah Saya sediakan.

Kasus “Daging 80 Jt” Melawan “Kekuasaan” Penegak Hukum & Pers.

Senin, 14 Januari 2019


Dalam perspektif hukum, setiap orang yang disangka, ditangkap, ditangkap, ditahan, ditahan dan atau dihadapkan dimuka pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memiliki kekuatan hukum tetap (Presumption of innocence). Hal demikian  berlaku juga bagi pelaku dan pihak-pihak lain yang diduga terkait kasus asuusila “daging 80 jt” yang saat ini sedang ditangani Polda Jawa Timur.

Hal tersebut sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan dipengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Tindakan Kapolda Jatim, Irjen Pol Luki Hermawan di Mapolda Jatim (11/1/2019)[1] menyampaikan informasi secara terbuka kepada Pers dengan menyebutkan nama lengkap dan profesi ke-enam orang yang diduga terkait prostitusi online (awalnya rilis  inisial, kemudian menyebutkan nama)[2] adalah tindakan sewenang-wenang sebagai pejabat negara. bahkan menyebut secara vulgar nama VA, yang notabene masih sebagai saksi, akan ditingkatkan menjadi terssangka.[3] Dilain sisi, informasi tersebut menjadi santapan empuk rekan-rekan Pers dan disampaikan secara vulgar kepada masyarakat, baik tulisan nama secara lengkap maupun foto/gambar melalui medianya masing-masing.

Informasi tersebut beredar cepat, opini pun terbentuk dan mendapat tanggapan beragam dari masyarakat. Mulai dari mencemo’oh, bahan lelucon, meme, dll, dan ramai diperbincangkan di media sosial. Bahkan opini yang terbentuk mengarah pada justifikasi (menghakimi). Sementara belum tentu mereka yang diduga terlibat itu benar menurut hukum terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan perbuatan pidana dimaksud. Faktanya saat ini, kasus masih dalam proses penyidikan dan belum satupun diputuskan bersalah oleh pengadilan. Dimana sebagian lagi berstatus sebagai saksi.

Bahkan bila mengacu pada Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, menegaskan bahwa saksi dan korban  berhak atas kerahasiaan identitasnya. Bahkan saksi pelaku, pelapor dan saksi ahli pun mempunyai hak yang sama. Mengenai hak tersebut diberikan berdasarkan putusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Benar menurut hukum bahwa Polri berkewajiban mengungkap suatu peristiwa pidana dan menyerahkannya kepada penuntut umum untuk dihadapkan dimuka pengadilan. Karena Polri adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan kamtibmas, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, UU Polri). Disamping itu Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara kamtibmas, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri (Pasal 5 UU Polri).

Polri memiliki tugas pokok sebagaimana dimaksud Pasal 13 (khusus huruf b – penegakan hukum) s/d Pasal 14 (khusus huruf g – berkenaan dengan tindak pidana), dan untuk melaksanakannya Polri diberi wewenang sebagaimana ketentuan Pasal 15 s/d 16 UU Polri. Adanya kewenangan berdasarkan atribusi ini, penyidik memiliki “kekuasaan” untuk melakukan penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, dll guna kepentingan penyidikan (lidik dan sidik) sesuai UU Polri, KUHAP, serta peraturan teknis lainnya. Atas dasar inilah polisi dapat bertindak atau mengambil tindakan hukum khusunya terhadap pelaku dan pihak-pihak terkait kasus asusila “jual beli daging 80 jt.”

Kemudian, benar menurut hukum bahwa pers nasional berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Pers nasional memiliki hak untuk mencari, memperoleh, menyebarkan gagasan dan informasi, pers nasional bebas dari pembredelan, penyensoran dan pelarangan siaran. Bahkan dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan dihadapan hukum, wartawan punya hak tolak. Kesemua itu sebagai wujud kemerdekaan pers sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.  Kemerdekan itu memberikan “kekuasaan” kepada Pers menjalankan fungsi jurnalistiknya, diantaranya adalah menyampaikan informasi kepada masyarakat sebagai bagian dari hak asasi warga Negara.

Berpijak pada konstitusi, Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaats) sebagimana Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebagai negara hukum maka segala sesuatu itu dilakukan berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kekuasaan (Machtsstaats). Hal ini dapat diartikan bahwa segala sesuatu tindakan Polri maupun Pers harus berdasarkan hukum, dan sesuai asas equality before the law (Pasal 27 UUD 1945) bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Kemudian, bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil sertal perlakuan yang sama di hadapan hukum, dan setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi (Pasal 28 D ayat (1 )dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945). Ini menunjukan bahwa adanya pengakuan dan jaminan perlindungan hukum sebagai HAM oleh Negara. Hak ini melekat pada diri mereka-mereka yang terkait kasus asusila “daging 80 jt.”

Tanpa mengambaikan prosedur hukum yang telah ditempuh kepolisian dalam mengungkap kasus,  sepatutnya kepolisian sebagai sumber informasi penanganan perkara asusila tidak membuka identitas saksi / saksi korban sebagaimana pelaku (mucikari), termasuk mereka yang masuk dalam daftar 45 model dan 100 artis,[4] cukup menyebut inisial saja. Membuka identitas akan memberi dampak dan berpotensi menimbulkan stigma negatif dimasyarakat. Tentunya ini melanggar hak-hak dan kepentingan hukum tersangka, saksi / saksi korban dan keluarganya. Sementara Polri dalam melaksanakan tujuannya sebagaimana dimaksud Pasal 4 UU Polri berkewajiban menjunjung tinggi HAM (lihat juga, Perkapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri).

Sementara Pers, meskipun diberikan kebebasan dalam menjalankan fungsinya akan tetapi dalam menyampaikan peristiwa dan opini wajib menghormati norma-norma agama, rasa kekesusilaan masyarakat dan asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat 1 UU No. 40 Tahun 1999 tenang Pers, UU Pers). Hal demikian juga bagian dari etika jurnalistik yang wajib dijunjung tinggi oleh Pers.

Menyampaikan informasi yang benar kepada masyarakat adalah kewajiban Pers, akan tetapi tidak boleh juga mengabaikan kaedah lainnya. Pers bukan sekedar penyampai berita, akan tetapi juga media pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Pemberitaan pers atas kasus ini tidak mencerminkan itu. Bahkan menurut Machyudin Agung Harahap[5], Pers dewasa ini juga berfungsi membentuk pendapat umum.

Identitas, profesi dan bahkan foto / gambar mereka yang terkait kasus asusila disampaikan secara terbuka kepada publik. Hal demikian berpotensi menimbulkan stigma negatif bagi diri pelaku, saksi / saksi korban dan keluargnya sementara perkara baru begulir dan belum ada keputusan hukum berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijs) yang menyatakan bersalah.

Ini buruk bagi penegakan hukum dan kemerdekaan pers di Indonesia. Polri yang seharusnya bertindak berdasarkan hukum dan menjunjung tinggi HAM justru melanggar hukum dan HAM, rasa kesusilaan masyarakat, dan mengabaikan asas praduga tak bersalah.

Demikian pula Pers. Bahkan Pers yang seharusnya sebagai kontrol sosial  terhadap tindakan aparat penegak hukum, justru ikut melanggar hukum dan melanggar kode etik jurnalis. Dilain sisi, Dewan Pers dan Komisi Penyiaran diam ditempat tanpa ada tindakan apapun terhadap Pers yang kebablasan.

Mengutip pendapat ahli :[6]
Power tends to corrupt and absolute tends to corrupt absolutely. (Kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang mutlak cenderung untuk korupsi secara mutlak pula). Adegium ini berlaku universal, baik di Timur maupun di Barat. Kekuasaan memang mengandung dua sisi sekaligus, yakni sisi positif dan negatif. Dikatakan positif karena kekuasaan yang baik sangat efektif menegakan hukum dan keadilan secara bermartabat. Kekuasaan juga mengandung unsur negatif yakni manakala kekuasaan diarahkan kepada bentuk kesewenang-wenangan dan kedzaliman.

Dengan begitu besarnya kewenangan Polri dalam penegakan hukum dan bebasnya Pers dalam menjalan fungsi jurnalis, keduanya berpotensi “korup.” Untuk itu Polri dituntut profesional, taat hukum, menjunjung tinggi etika profesi. Demikian pula Pers, dan dalam menyampaikan berita dan opini wajib menghormati norma-norma agama, rasa kekesusilaan masyarakat dan asas praduga tak bersalah. Bilamana Polri dan Pers “korup,” tidak dapat digambarkan apa yang bakal terjadi dikemudian hari. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan terjadinya kesewenang-wenangan oleh aparat penegak hukum dan lacurnya, hal demikian diamini Pers. Opini pembenaran dibentuk, dan tak ada lagi kontrol sosial.

Semoga hal demikian tidak terjadi. Penulis masih meyakini bahwa Polri masih mampu bertindak profesional, taat hukum, dan dalam penanganan perkara pidana mengedepankan asas praduga tak bersalah.. Demikian pula Pers, mampu melaksanakan amanat UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. 

Harapannya kedepan, Polri dan Pers lebih bijaksana dalam menyampaikan informasi untuk kepentingan publik, taat pada aturan hukum yang berlaku, dalam menyampaikan informasi kasus asusila haruslah memperhatikan kaedah-kaedah yang berlaku di masyarakat, dan tiada lagi kesewenang-wenangan menjalakan “kekuasaannya.”

Referensi :

  1. Machyudin Agung Harahap, Kapitalisme Media – Ekonomi Politik Berita dan Diskursus Televisi, Aura Pustaka, Yogjakarta, 2013, hal. 19-11.
  2. Majda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia Dari UUD 1945 Sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Edisi Pertama Cetakan ke–3, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hal. 30.
  3. https://www.youtube.com/watch?v=YfAxCsKqzAY, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 00.10 Wib.
  4. https://pojoksatu.id/news/berita-nasional/2019/01/11/rilis-terbaru-polda-jatim-nama-nama-artis-terlibat-prostitusi-online/, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 00.01 Wib.
  5. https://www.youtube.com/watch?v=M7806X6dm4w, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 00.23 Wib.
  6. http://jabar.tribunnews.com/2019/01/12/ini-enam-sosok-dan-foto-artis-yang-akan-dipanggil-polda-jatim-terkait-kasusu-prostitusi-online, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 00.26 Wib.
  7. https://news.okezone.com/read/2019/01/13/340/2003851/namanya-disebut-polda-jatim-soal-prostitusi-online-ini-cuitan-finalis-puteri-indonesia, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 00.29 Wib.
  8. http://suryamalang.tribunnews.com/2019/01/14/vanessa-angel-akui-tak-terlibat-prostitusi-artis-polda-jatim-punya-versi-lain-soal-sepak-terjangnya, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 17.29 WIB.
  9. http://suryamalang.tribunnews.com/2019/01/11/artis-finalis-puteri-indonesia-terkait-dugaan-prostitusi-ini-langkah-polda-jatim-saat-mengusutnya, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 17.36 WIB.
  10. https://www.suara.com/news/2019/01/08/124036/polisi-gelar-perkara-kasus-prostitusi-online-vanessa-angel, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 17.40 Wib.
  11. http://www.tribunnews.com/nasional/2019/01/11/polda-jatim-beberkan-6-artis-yang-diduga-terlibat-prostitusi-online-ada-2-finalis-puteri-indonesia, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 17.45 Wib.
  12. http://makassar.tribunnews.com/2019/01/06/dibayar-rp-80-juta-artis-vanessa-angel-inisial-va-kencan-di-hotel-lelaki-ini-bukan-orang-biasa, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 23.57 WIB.
  13. https://www.liputan6.com/showbiz/read/3864510/berani-bayar-rp-80-juta-pengusaha-yang-memesan-artis-va-bergerak-di-bidang-jasa, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pada pukul 23.58 Wib.
  14. https://idreporter.net/v/rela-bayar-rp-80-juta-begini-alasan-pria-ini-pilih-vanessa-angel-ketimbang-artis-lain-cAIKR1wTWoI.html, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 23.59 WIB.




[2] https://www.youtube.com/watch?v=YfAxCsKqzAY, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 00.10 Wib.
[5] Machyudin Agung Harahap, Kapitalisme Media – Ekonomi Politik Berita dan Diskursus Televisi, Aura Pustaka, Yogjakarta, 2013, hal. 19-11
[6] Majda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia Dari UUD 1945 Sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Edisi Pertama Cetakan ke–3,  Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hal. 30.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2010-2011 mr giepie All Rights Reserved.
Template Design by CSATLZone | Published by Jambi Law Club | Powered by Blogger.com.