Hukum
perjanjian asal kata dari hukum dan perjanjian. Dalam kamus hukum (Dictionary of Law), istilah Hukum diberbagai
negara berbeda-beda. Seperti contoh, mengutip istilah hukum di Belanda dikenal
dengan sebutan Recht, di Inggris
disebut dengan kata Law, di Indonesia
disebut Hukum.
Adapun
pengertian hukum menurut Kamus Hukum :
Keseluruhan
peraturan-peraturan dimana tiap-tiap orang yang bermasyarakat wajib mematuhinya;
sistem peraturan untuk menguasai tingkah laku manusia dalam masyarakat atau
bangsa, undang-undang, ordonansi, atau peraturan yang ditetapkan pemerintah dan
ditandatangani ke dalam undang-undang.[1]
Istilah
hukum mennurut Sudikno Mertokusumo memiliki pengertian sebagai berikut:
Keseluruhan
kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama:
keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan
bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.[2]
Pengertian
hukum menurut Wirjono Prodjodikoro :
Hukum adalah
rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota
suatu masyarakat dan bertujuan mengadakan tata-tertib diantara anggota-anggota
masyarakat itu. Ini berarti, bahwa anasir-hukum baru dapat dianggap ada,
apabila suatu tingkah aku seorang sedikit banyak menyinggung atau mempengaruhi
tingkah laku dan kepentingan orang lain.[3]
Pengertian
hukum menurut ahli lainnya[4]
:
Menurut Utrecht,
Hukum adalah himpunan peraturan (perintah-perintah dan larangan-parangan) yang
pengurus tata tertib suatu masyarakat dan oleh karena itu harus ditaati oleh
masyarakat itu.
Menurut Meyers,
hukum ialah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, dtujukan
kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat yang menjadi pedoman bagi penguasa
negara dalam melakukan tugasnya.
Menurut SM. Amin,
hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi, dan tujuan
hukum adalah mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan
dan ketertiban terpelihara.
Menurut Abdul
Rasyid Salim : hukum adalah keseluruhan peraturan yang dibuat oleh pengurus
(Masyarakat dan negara) sebagai alatuntuk mencapai tujuan-tujuan yang ingin dicapai
oleh penguasa itu.
Sedangkan
istilah perjanjian dalam bahasa Inggris kenal dengan sebutan contract, bahasa belanda disebut verbintenis. Sedangkan di Indonesia
dikenal dengan berbagai istilah diantaranya perikatan, perjanjian, kontrak. [5]
Adapun
pengertian perjanjian menurut Kamus Hukum yaitu persetujuan secara tertulis
atau lisan yang dibuat dua pihak atau lebih dimana masing-masing berjanji akan
mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu sebagai kesepakatan bersama.[6]
Pengertian
perjanjian menurut Wirjono Prodjodikoro adalah sebagai suatu perhubungan hukum
mengenai harta benda antar dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau
dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan
sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.[7]
Bahwa
perjanjian adalah bagian dari perikatan, dimana berdasarkan ketentuan Pasal
1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata / Burgerlijk Wetboek), menyebutkan bahwa perikatan lahir karena suatu
perjanjian atau karena undang-undang. Kemudian Pasal 1234 bahwa perikatan
ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak
berbuat sesuatu.
Perikatan
yang lahir karena suatu perjanjian bersumber pada persetujuan (overeenkomsten). Sementara perikatan
yang lahir karena segala hal yang menurut B.W masuk pengertian perjanjian yang
bersumber pada undang-undang (verbintenissen
uit de wet allen) dan perjanjian yang bersumber pada perbuatan
melanggar hukum (verbintenissen uit onrechtmatige daad) tidaklah mengandung
anasir janji, atau orang tidak dapat dikatakan berjanji apabila kewajiban
melekat padanya karena perintah undang-undang.[8]
Adapun
sifat pokok hukum perjanjian menurut Wirjono Prodjodikoro adalah :
..., kalau seorang
berjanji melaksanakan sesuatu hal, janji ini dalam hukum hakekatnya ditujukan
kepada orang lain. Berhubungan dengan ini dapat dikatakan, bahwa bahwa sifat
pokok dari hukum perjanjian ialah, bahwa hukum ini semula mengatur perhubungan
hukum antara orang-orang, jadi semula tidak antara orang dan suatu benda.
Dalam suatu
perhubungan hukum mengenai suatu benda, Hukum B.W. memperbedakan hak terhadap benda
(zakelijk recht) dari pada hak
terhadaporang (persoonlijk recht),
sedemikian rupa bahwa, meskipun suatu perjanjian (verbintenis) adalah mengenai suatu benda, pernjajian itu tetap
merupakan hukum antara orang-orang, lebih tegas lagi antara seorang tertentu,
berdasar atas suatu janji, berwajib melakukan sesuatu hal, dan orang lain
tertentu berhak untuk menuntut pelaksanaan kewajiban itu.[9]
Agar
suatu perjanjian dianggap sah, wajib memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :
1.
Kesepakatan
mereka yang mengikatkan dirinya.
2.
Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan.
3.
Suatu
pokok persoalan tertentu.
4.
Suatu
sebab yang tidak terlarang.
Menurut
pendapat ahli bahwa syarat sahnya perjanjian terbagi dalam dua hal yakni syarat
subjektif dan syarat objektif.
Kebatalan menyangkut persoalan tidak
terpenuhinya syarat sah suatu perjanjian, yaitu (1) sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya; (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (3) suatu hal
tertentu; (4) suatu sebab yang halal. Menurut Prof. Subekti, keempat syarat
tersebut diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu syarat subjektif dan
syarat objektif. Syarat subjektif meliputi sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Sementara syarat objektif
meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.[10]
Subjek
hukum adalah sesuatu yang menurut hukum dapat memiliki hak dan kewajiban yang
memilikikewenangan untuk bertindak. Adapun yang menjadi subjek hukum adalah
Manusia / orang pribadi (natuurlijke
persoon) yang sehat rohani / jiwanya, tidak di bawah pengampuan, dan Badan
Hukum (rechts persson).
Subjek
hukum dalam suatu perjanjian menurut oleh Wirjono Prodjodikoro menggunakan
istilah orang atau badan hukum sebagai pihak berwajib dan sebagai pihak berhak.
Subjek hukum berupa orang harus sudah dewasa, sehat pikirannya dan tidak oleh
peraturan hukum dilarang atau dibatasi
melakukan perbuatan hukum yang sah. [11]
Subjek
hukum tidak cakap melakukan perjanjiansebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 1330
KUH Perdata yaitu :
1.
Anak
yang belum dewasa.
2.
Orang
yang ditaruh dibawah pengampuan.
3.
Perempuan
yang belum kawin dalam hal-hal yang ditemukan undang-undang dan pada umumnya
semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan
tertentu.
Bahwa
Badan hukum dapat melakukan tindakan hukum misalnya mengadakan perjanjian dengan
pihak lain, mengadakan jual beli, yang dilakukan oleh pengurusnya atas nama
suatu badan hukum. Namun demikian yang disebut badan hukum harus memenuhi
syarat tertentu. Misalnya perseroan terbatas (PT) dimana akta pendirian
perusahaan harus disahkan oleh Menkum HAM serta diumumkan dlm lembaran berita
negara. Sedangkan badan hukum lain disahkan menurut ketentuan badan itu
sendiri. Contoh yayasan sesuai dengan UU 16/2001 ttg yayasan, dan contoh
lainnya.
Adapun
objek perjanjian menurut Wirjono Prodjodikoro yaitu :
Objek adalah
kebalikan dari subjek. Kalau dari uraian diatas kiranya dapat terang, bahwa subject suatu pernjanjian anasir, yang
bertindak, yang actief, maka objek
dalam suatu perjnajian dappat diartikan sebagai hal yang diperlakukan oleh
subject itu berupa suatu hal yang penting dalam tujuan yang dimaksudkan dengan
membentuk suatu perjanjian. Oleh karena itu, object dalam perhubungan hukum perihal perjanjian ialaha : hal yang
diwajibkan kepada pihak-berwajib (debitur), dan hal, terhadap mana pihak-berhak
(crediture) mempunyai hak.[12]
Dalam
suatu perjanjian apabila tidak terpenuhinya syarat subjektif maka perjanjian
tersebut dapat dibatalkan / dapat dimintakan pembatalan oleh satu pihak, dan
apabila tidak terpenuhinya syarat objektif menyebabkan suatu perjanjian batal
demi hukum secara serta merta atau perjanjian dianggap tidak ada.
Berdasarkan
sifat kebatalan, nutilitas dibedakan dalam kebatalan relatif dan kebatalan
mutlak. Menurut Wirjono Projodikoro dalam Elly Erawati dan Herlien Budiono
bahwa kebatalan relatif dan kebatalan mutlak yaitu :
... adalah suatu pembatalan
mutlak (absolute neitgheid) apabila
suatu perjanjian harus dianggap batal meskipun tidak diminta oleh suatu pihak.
perjanjian seperti ini dianggap tidak ada sejak semula dan terhadap siapapun
juga. Sedangkan pembatalan relatif (relatief
neitigheid) yaitu hanya terjadi jika
diminta oleh orang-orang tertentu dan hanya berlaku terhadap orang-orang
tertentu itu.
Batal
demi hukum selain karena tidak
terpenuhinya syarat objektif, juga karena undang-undang.
Batal demi hukum
selain karena tidak terpenuhinya unsur objektif, juga karena undag-undang
merumuskan secara kongkret tiap-tiap perbuatan hukum (terutama pernjajian
formil) yang mensyaratkan dibentukannya perjanjian dalam bentuk yang ditentukan
oleh undang-undang, yang tidak dipenuhi, perjanjian tersebut adalah batal demi
hukum (tidak memiliki kekuatan dalam pelaksanaannya.[13]
Menurut
R. Setiawan, dalam bidang kebatalan terdapat ketidakpastian tentang penggunaan
istilah, misalnya undang-undang menyebutkan batal demi hukum, tetapi yang
dimaksudkan adalah dapat dibatalkan. Hal ini dapat kita jumpai dalam Pasal 1446
BW.[14]
[1] M. Marwan
dan Jimmy P, Kamus Hukum – Dictionary of
Law Complete Edition, Cetakan I, Reality Publisher, 2009, hal 258.
[2]Sudikno
Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu
Pengantar, Edisi Kelima, Cetakan Keempat, Liberty Yogjakarta, Yogjakarta,
hal. 40.
[3]
Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum
Perjanjian, Cetakan VIII, Mandar Maju, 2000, hal 7.
[4]
Abdul Rasyid Salim, Hukum Bisnis Untuk
Perusahaan, Edisi ke kedua, Cetakan ke 5, Kencana Prenada Media Group,
2010, hal 8.
[7]
Wirjono Prodjodikoro, Op Cit, hal 4.
[8]
Ibid, hal 2.
[9]
Ibid, hal 7.
[10]
Elly Erawati dan Herlien Budiono, Penjelasan
Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, PT. Gramedia, Jakarta, 2010, hal 1.
[11]
Ibid, hal 15.
[12]
Wirjono Prodjodikoro, Ibid, hal 19.
[13]
Ibid. Hal 1.
[14]
Ibid.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar