Selamat Datang di Blog Pribadi Saya. Terima kasih atas kunjungan Anda. Silahkan sampaikan komentar, kritik, serta saran Anda pada bagian yang telah Saya sediakan.

Hukum Perjanjian (het verbintenssenrecht)

Selasa, 08 Januari 2019


Hukum perjanjian asal kata dari hukum dan perjanjian. Dalam kamus hukum (Dictionary of Law), istilah Hukum diberbagai negara berbeda-beda. Seperti contoh, mengutip istilah hukum di Belanda dikenal dengan sebutan Recht, di Inggris disebut dengan kata Law, di Indonesia disebut Hukum.
Adapun pengertian hukum menurut Kamus Hukum :
Keseluruhan peraturan-peraturan dimana tiap-tiap orang yang bermasyarakat wajib mematuhinya; sistem peraturan untuk menguasai tingkah laku manusia dalam masyarakat atau bangsa, undang-undang, ordonansi, atau peraturan yang ditetapkan pemerintah dan ditandatangani ke dalam undang-undang.[1]

Istilah hukum mennurut Sudikno Mertokusumo memiliki pengertian sebagai berikut:
Keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama: keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.[2]

Pengertian hukum menurut Wirjono Prodjodikoro :
Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat dan bertujuan mengadakan tata-tertib diantara anggota-anggota masyarakat itu. Ini berarti, bahwa anasir-hukum baru dapat dianggap ada, apabila suatu tingkah aku seorang sedikit banyak menyinggung atau mempengaruhi tingkah laku dan kepentingan orang lain.[3]

Pengertian hukum menurut ahli lainnya[4] :
Menurut Utrecht, Hukum adalah himpunan peraturan (perintah-perintah dan larangan-parangan) yang pengurus tata tertib suatu masyarakat dan oleh karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.
Menurut Meyers, hukum ialah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, dtujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat yang menjadi pedoman bagi penguasa negara dalam melakukan tugasnya.
Menurut SM. Amin, hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi, dan tujuan hukum adalah mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara.
Menurut Abdul Rasyid Salim : hukum adalah keseluruhan peraturan yang dibuat oleh pengurus (Masyarakat dan negara) sebagai alatuntuk mencapai tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh penguasa itu.

Sedangkan istilah perjanjian dalam bahasa Inggris kenal dengan sebutan contract, bahasa belanda disebut verbintenis. Sedangkan di Indonesia dikenal dengan berbagai istilah diantaranya perikatan, perjanjian, kontrak. [5]
Adapun pengertian perjanjian menurut Kamus Hukum yaitu persetujuan secara tertulis atau lisan yang dibuat dua pihak atau lebih dimana masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu sebagai kesepakatan bersama.[6]
Pengertian perjanjian menurut Wirjono Prodjodikoro adalah sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.[7]
Bahwa perjanjian adalah bagian dari perikatan, dimana berdasarkan ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata / Burgerlijk Wetboek), menyebutkan bahwa perikatan lahir karena suatu perjanjian atau karena undang-undang. Kemudian Pasal 1234 bahwa perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Perikatan yang lahir karena suatu perjanjian bersumber pada persetujuan (overeenkomsten). Sementara perikatan yang lahir karena segala hal yang menurut B.W masuk pengertian perjanjian yang bersumber pada undang-undang (verbintenissen uit de wet allen) dan perjanjian yang bersumber pada perbuatan melanggar  hukum (verbintenissen uit onrechtmatige daad) tidaklah mengandung anasir janji, atau orang tidak dapat dikatakan berjanji apabila kewajiban melekat padanya karena perintah undang-undang.[8]
Adapun sifat pokok hukum perjanjian menurut Wirjono Prodjodikoro adalah :
..., kalau seorang berjanji melaksanakan sesuatu hal, janji ini dalam hukum hakekatnya ditujukan kepada orang lain. Berhubungan dengan ini dapat dikatakan, bahwa bahwa sifat pokok dari hukum perjanjian ialah, bahwa hukum ini semula mengatur perhubungan hukum antara orang-orang, jadi semula tidak antara orang dan suatu benda.

Dalam suatu perhubungan hukum mengenai suatu benda, Hukum B.W. memperbedakan hak terhadap benda (zakelijk recht) dari pada hak terhadaporang (persoonlijk recht), sedemikian rupa bahwa, meskipun suatu perjanjian (verbintenis) adalah mengenai suatu benda, pernjajian itu tetap merupakan hukum antara orang-orang, lebih tegas lagi antara seorang tertentu, berdasar atas suatu janji, berwajib melakukan sesuatu hal, dan orang lain tertentu berhak untuk menuntut pelaksanaan kewajiban itu.[9]

Agar suatu perjanjian dianggap sah, wajib memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :
1.      Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3.      Suatu pokok persoalan tertentu.
4.      Suatu sebab yang tidak terlarang.

Menurut pendapat ahli bahwa syarat sahnya perjanjian terbagi dalam dua hal yakni syarat subjektif dan syarat objektif.
 Kebatalan menyangkut persoalan tidak terpenuhinya syarat sah suatu perjanjian, yaitu (1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (3) suatu hal tertentu; (4) suatu sebab yang halal. Menurut Prof. Subekti, keempat syarat tersebut diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif meliputi sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Sementara syarat objektif meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.[10]

Subjek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum dapat memiliki hak dan kewajiban yang memilikikewenangan untuk bertindak. Adapun yang menjadi subjek hukum adalah Manusia / orang pribadi (natuurlijke persoon) yang sehat rohani / jiwanya, tidak di bawah pengampuan, dan Badan Hukum (rechts persson).
Subjek hukum dalam suatu perjanjian menurut oleh Wirjono Prodjodikoro menggunakan istilah orang atau badan hukum sebagai pihak berwajib dan sebagai pihak berhak. Subjek hukum berupa orang harus sudah dewasa, sehat pikirannya dan tidak oleh peraturan hukum dilarang atau dibatasi  melakukan perbuatan hukum yang sah. [11]
Subjek hukum tidak cakap melakukan perjanjiansebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata yaitu :
1.      Anak yang belum dewasa.
2.      Orang yang ditaruh dibawah pengampuan.
3.      Perempuan yang belum kawin dalam hal-hal yang ditemukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.

Bahwa Badan hukum dapat melakukan tindakan hukum misalnya mengadakan perjanjian dengan pihak lain, mengadakan jual beli, yang dilakukan oleh pengurusnya atas nama suatu badan hukum. Namun demikian yang disebut badan hukum harus memenuhi syarat tertentu. Misalnya perseroan terbatas (PT) dimana akta pendirian perusahaan harus disahkan oleh Menkum HAM serta diumumkan dlm lembaran berita negara. Sedangkan badan hukum lain disahkan menurut ketentuan badan itu sendiri. Contoh yayasan sesuai dengan UU 16/2001 ttg yayasan, dan contoh lainnya.
Adapun objek perjanjian menurut Wirjono Prodjodikoro yaitu :
Objek adalah kebalikan dari subjek. Kalau dari uraian diatas kiranya dapat terang, bahwa subject suatu pernjanjian anasir, yang bertindak, yang actief, maka objek dalam suatu perjnajian dappat diartikan sebagai hal yang diperlakukan oleh subject itu berupa suatu hal yang penting dalam tujuan yang dimaksudkan dengan membentuk suatu perjanjian. Oleh karena itu, object dalam perhubungan hukum perihal perjanjian ialaha : hal yang diwajibkan kepada pihak-berwajib (debitur), dan hal, terhadap mana pihak-berhak (crediture) mempunyai hak.[12]

Dalam suatu perjanjian apabila tidak terpenuhinya syarat subjektif maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan / dapat dimintakan pembatalan oleh satu pihak, dan apabila tidak terpenuhinya syarat objektif menyebabkan suatu perjanjian batal demi hukum secara serta merta atau perjanjian dianggap tidak ada.
Berdasarkan sifat kebatalan, nutilitas dibedakan dalam kebatalan relatif dan kebatalan mutlak. Menurut Wirjono Projodikoro dalam Elly Erawati dan Herlien Budiono bahwa kebatalan relatif dan kebatalan mutlak yaitu :
... adalah suatu pembatalan mutlak (absolute neitgheid) apabila suatu perjanjian harus dianggap batal meskipun tidak diminta oleh suatu pihak. perjanjian seperti ini dianggap tidak ada sejak semula dan terhadap siapapun juga. Sedangkan pembatalan relatif (relatief neitigheid) yaitu hanya terjadi jika diminta oleh orang-orang tertentu dan hanya berlaku terhadap orang-orang tertentu itu.

Batal demi hukum selain karena  tidak terpenuhinya syarat objektif, juga karena undang-undang.
Batal demi hukum selain karena tidak terpenuhinya unsur objektif, juga karena undag-undang merumuskan secara kongkret tiap-tiap perbuatan hukum (terutama pernjajian formil) yang mensyaratkan dibentukannya perjanjian dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, yang tidak dipenuhi, perjanjian tersebut adalah batal demi hukum (tidak memiliki kekuatan dalam pelaksanaannya.[13]

Menurut R. Setiawan, dalam bidang kebatalan terdapat ketidakpastian tentang penggunaan istilah, misalnya undang-undang menyebutkan batal demi hukum, tetapi yang dimaksudkan adalah dapat dibatalkan. Hal ini dapat kita jumpai dalam Pasal 1446 BW.[14]



[1] M. Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum – Dictionary of Law Complete Edition, Cetakan I, Reality Publisher, 2009, hal 258.
[2]Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Edisi Kelima, Cetakan Keempat, Liberty Yogjakarta, Yogjakarta, hal. 40.
[3] Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Cetakan VIII, Mandar Maju, 2000, hal 7.
[4] Abdul Rasyid Salim, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Edisi ke kedua, Cetakan ke 5, Kencana Prenada Media Group, 2010, hal 8.
[5] M. Marwan dan Jimmy P,Op Cit,  hal 379, 506, 507.
[6] Ibid, hal 507.
[7] Wirjono Prodjodikoro, Op Cit, hal 4.
[8] Ibid, hal 2.
[9] Ibid, hal 7.
[10] Elly Erawati dan Herlien Budiono, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, PT. Gramedia, Jakarta, 2010, hal 1.
[11] Ibid, hal 15.
[12] Wirjono Prodjodikoro, Ibid, hal 19.
[13] Ibid. Hal 1.
[14] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2010-2011 mr giepie All Rights Reserved.
Template Design by CSATLZone | Published by Jambi Law Club | Powered by Blogger.com.