Teori hukum pengangkutan
menurut Abdulkadir Muhammad :
Teori hukum
pengangkutan adalah serangkaian ketentuan peraturan perundang-undangan atau
perjanjian mengenai pengangkutan yang direkonstruksikan sedemikian rupa
sehingga menggambarkan proses kegiatan pengangkutan. Teori hukum pengangkutan
merupakan gambaran secara jelas rekonstruksi ketentuan undang-undang atau
perjanjian bagaimana seharusnya para pihak berbuat sehingga tujuan pengangkutan
itu tercapai.
Apabila teori
hukum pengangkutan ini diterapkan pada pengangkutan, penerapannya disebut
praktik hukum pengangkutan. Praktik hukum pengangkutan merupakan peristiwa
mengenai pengangkutan. Rangkaian peristiwa tersebut merupakan proses kegiatan
mulai dari pemuatan kedalam alat pengangkut, pemindahan ke tempat tujuan yang
telah ditentukan, dan penurunan/pembongkaran di tempat tujuan. Proses rangkaian
perbuatan ini dapat diamati secara nyata pada setiap pelaksanaan pengangkutan.
Dengan kata lain, teori hukum pengangkutan hanyalah mempunyai nilai guna jika
dilaksanakan melalui setiap jenis pengangkutan, yaitu pengangkutan kereta api,
darat, perairan, dan udara.[1]
Konsep Hukum Pengangkutan
menurut Abdulkadir Muhammad meliputi tiga aspek, diantaranya:
1.
Pengangkutan
sebagai usaha (business).
Pengangkutan
sebagai usaha adalah kegiatan usaha di bidang jasa pengangkutan yang
menggunakan alat pengangkut mekanik. Alat pengangkut mekanik contohnya ialah
gerbong untuk mengangkut barang, kereta untuk mengangkut orang, truk untuk
mengangkut barang, bus untuk mengangkut penumpang, pesawat kargo, pesawat
penumpang untuk mengangkut penumpang, kapal kargo untuk mengangkut barang dan
kapal penumpang untuk mengangkut penumpang. Kegiatan usaha tersebut selalu
dalam bentuk perusahaan perseorangan, persekutuan, atau badan hukum. Karena
menjalankan perusahaan usaha jasa pengangkutan bertujuan memperoleh keuntungan
dan/atau laba.
2.
Pengangkutan
sebagai perjanjian (agreement).
Pengangkutan
sebagai perjanjian selalu didahului oleh kesepakatan antara pihak pengangkut
dan pihak penumpang atau pengirim. Kesepakatan tersebut pada dasarnya berisi
kewajiban dan hak, baik pengangkut dan penumpang maupun pengirim. Kewajiban
pengangkut adalah mengangkut penumpang atau barang sejak tempat pemberangkatan
sampai ke tempat tujuan yang telah disepakati dengan selamat. Sebagai imbalan,
pengangkut berhak memperoleh sejumlah uang jasa atau uang sewa yang disebut
biaya pengangkutan. Kewajiban penumpang atau pengirim adalah membayar sejumlah
uang sebagai biaya pengangkutan dan memperoleh hak atas pengangkutan sampai di
tempat tujuan dengan selamat. Perjanjian pengangkutan pada umumnya bersifat
lisan (tidak tertulis) tetapi selalu didukung oleh dokumen pengangkutan.
Dokumen pengangkutan berfungsi sebagai bukti sudah terjadinya perjanjian
pengangkutan dan wajib dilaksanakan pihak-pihak. Dokumen pengangkutan barang
lazim disebut surat muatan sedangkan dokumen penumpang lazimnya disebut karcis
penumpang.
3.
Pengangkutan
sebagai proses penerapan (aplying process).
Pengangkutan
sebagai proses terdiri atas serangkaian perbuatan mulai dari permuatan ke dalam
alat pengangkut. Kemudian dibawa oleh pengangkut menuju tempat tujuan yang
telah ditentukan, dan pembongkaran atau penurunan di tempat tujuan.
Pengangkutan sebagai proses merupakan sistem yang mempunyai unsur-unsur sistem
yaitu subjek pengangkutan, status pelaku pengangkutan, objek pengangkutan,
peristiwa pengangkutan dan hubungan pengangkutan.[2]
Menurut Abdulkadir
Muhammad asas hukum pengangkutan merupakan landasan filosofis dalam pelaksanaan
hukum pengangkutan yang diklasifikasi menjadi dua yaitu :
1.
Asas hukum publik.
Merupakan
landasan hukum pengangkutan yang berlaku dan berguna bagi semua pihak, yaitu
pihak-pihak dalam pengangkutan, pihak ketiga yang berkepentingan dengan
pengangkutan, dan pihak pemerintah (negara).
2.
Asas Hukum Perdata.
Merupakan
landasan hukum pengangkutan yang hanya berlaku dan berguna bagi kedua pihak
dalam pengangkutan, yaitu pengangkut dan penunpang atau pemilik barang.[3]
Dalam kegiatan
pengangkutan udara niaga terdapat dua pihak, yakni pengangkut dan pengguna jasa
angkutan udara. Pengangkut adalah badan usaha angkutan udara milik negara,
badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan
terbatas (PT) atau koperasi yang kegiatan utamanya mengoperasikan pesawat udara
untuk digunakan pengangkut penumpang, kargo dan/atau pos dengan memungut
bayaran. Sedangkan pihak pengguna jasa angkutan udara niaga yaitu penumpang,
pengirim barang serta pihak ketiga. Bila dikaitkan dengan penumpang, maka Para
pihak tersebut terikat oleh suatu perjanjian yaitu perjanjian angkutan udara
yang dibuktikan dengan tiket.[4]
Sebagaimana suatu
perjanjian (verbitenis) dimana merupakan manifestasi dari hubungan hukum
yang bersifat keperdataan maka didalamnya terkandung hak dan kewajiban yang
harus dilaksanakan dan dipenuhi[5] oleh
para pihak atau yang biasa disebut dengan istilah “prestasi.”
Dalam hukum pengangkutan,
kewajiban pengangkut antara lain mengangkut penumpang dan/atau barang dengan
aman, utuh dan selamat sampai ke tempat tujuan, memberikan pelayanan yang baik,
mengganti kerugian penumpang dalam hal adanya kerugian yang menimpa penumpang,
memberangkatkan penumpang sesuai jadual yang telah ditetapkan dan lain-lainnya.[6]
Sementara kewajiban
penumpang adalah membayar ongkos pengangkutan yang besarnya telah ditentukan,
menjaga barang-barang di bawah pengawasannya, melaporkan jenis-jenis barang
yang dibawa terutama barang-barang yang masuk kategori berbahaya, mentaati
ketentuan perundang-undangan dan ketentuan yang ditetapkan pengangkut yang
berkenaan dengan pengangkutan. Hak dan kewajiban para pihak tersebut biasanya
dituangkan dalam suatu dokumen perjanjian pengangkutan.
Secara teoretis,
perjanjian pengangkutan merupakan suatu perikatan yang mengikat secara hukum
dimana satu pihak menyanggupi untuk memenuhi kewajiban hukumnya yakni
menyanggupi memberikan jasa penerbangan untuk membawa orang atau barang dari
bandara udara satu ke bandara udara lainnya dengan nyaman, aman dan tepat
waktu. Sedangkan pihak lainnya, menyanggupi untuk memenuhi kewajiban hukumnya
yakni membayar ongkos atas jasa dimaksud.[7]
Asas perjanjian di dalam
hukum pengangkutan mengandung makna bahwa setiap pengangkutan diadakan dengan
perjanjian para pihak perusahaan pengangkutan dan penumpang atau pemilik
barang. Tiket/karcis penumpang dan dokumen pengangkutan merupakan tanda bukti
telah terjadi perjanjian antara pihak-pihak. Perjanjian pengangkutan tidak
diharuskan dalam bentuk tertulis, sudah cukup dengan kesepakatan pihak-pihak.[8]
[4]Lihat E. Saifullah Wiradipraja, Tanggung Jawab
Perusahaan Penerbangan Terhadap Penumpang Menurut Hukum Udara Indonesia”, Vol
25, Jurnal Hukum Bisnis, Jakarta,
2006, hal. 5.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar