Selamat Datang di Blog Pribadi Saya. Terima kasih atas kunjungan Anda. Silahkan sampaikan komentar, kritik, serta saran Anda pada bagian yang telah Saya sediakan.

Prosedur Hukum Mendapatkan Hak Atas Harta Bersama Bagi Mereka Beragama Islam

Minggu, 06 Januari 2019

Bagaimanakah Prosedur Hukum Untuk Mendapatkan Hak Atas Harta Bersama Akibat Perceraian Bagi Mereka Yang Beragama Islam ? 

Jawaban : 

Bahwa bilamana putusnya suatu pernikahan karena perceraian dengan cara dan sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua (½) dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan; 

Bahwa bilamana tidak adanya perjanjian kawin atau perjanjian lain berkaitan pemisahan atau pembagian harta bersama, maka masing-masing pihak memiliki kedudukan yang sama atas harta bersama, dan janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak atas ½ (seperdua) harta bersama tersebut; 

Bahwa bilamana belum adanya pembagian ½ (setengah) bagian hak harta bersama kepada mantan isteri/suami pasca putusnya pernikahan, dimana harta tersebut untuk sebagian atau seluruhnya dikuasai mantan suami/isteri, dan pasca putusnya pernikahan mantan suami/isteri menolak untuk memberikan ½ (seperdua) bagian harta tersebut kapada mantan isteri/suami meskipun sudah dimintakan kepadanya adalah merupakan perbuatan melawan hukum, karena ketentuan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak ½ (seperdua) dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian kawin; 

Bahwa berdasarkan Pasal 88 Kompilasi Hukum Islam bahwa Apabila terjadi perselisihan antara suami-isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama. 

Bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 kemudian diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 Tentang Perubahan kedua atas undang-undang nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama, ditegaskan bahwa kekuasaan Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata khusus bagi agama islam, yang dikenal dengan asas personalitas keislaman. Bahwa asas Personalitas Keislaman adalah pola pengaturan kewenangan Pengadilan Agama yang tidak bisa di tundukkan oleh lembaga lain diluar Pengadilan Agama. 

Bahwa berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan Buku II Edisi 2007 terbitan Mahkamah Agung RI Tahun 2012, pada halaman 369 (tiga ratus enam puluh Sembilan) menyebutkan tentang kewenangan Peradilan Agama meliputi memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah 

Bahwa berdasarkan Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan Buku ke-II Edisi Tahun 2007 terbitan Mahkamah Agung Tahun 2009 hal 472 s/d 473 diantaranya : 

1. Pada angka 10 huruf a : 
Gugatana harta bersama dapat digabungkan dengan perkara permohonan cerai talak dan cerai gugat atau dalam betuk gugatan rekovensi dalam perkara permohonan cerai talak dan cerai gugat jika pihak pemohon atau penggugat tidak menggabungkan gugatan harta bersama dengan perohonan cerai talak dan cerai gugat sebagaimana telah diuraikan dalam aangka 8 huruf c, d, dan serta dalam angka 9 huruf c, d, dan e; 

2. Pada angka 10 huruf b : 
Gugatan pembagian harta bersama yang tidak dilakukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak dan cerai gugat, diajukan setelah terjadi perceraian; 

Dengan demikian gugatan harta bersama dimohonkan kepada pengadilan agama dengan memperhatikan kewenangan relatif sebagaimana ketentuan Pasal 118 HIR/Pasal 142 Rbg, dan barang siapa yang mendalilkan sesuatu maka dia wajib membuktikannya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 163 HiR yaitu “ Barang siapa mengatakan mempunyai barang suatu hak atau mengaatakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah hak orang lain harusah membuktikan hak itu atau adanya perbuatan itu”; 

Bahwa alat bukti menurut ketentuan Pasal 164 HIR, ada 5 macam alat bukti diantaranya : 
  1. Bukti surat; 
  2. Bukti saksi; 
  3. Persangkaan; 
  4. Pengakuan; 
  5. Sumpah; 
Bahwa dalam gugatan harta bersama yang diajukan, dapat dimohonkan sita jaminan (sita marital) kepada hakim/Ketua majelis hakim baik sebelum atau selama proses pemeriksaan berlangsung dan untuk penyitaan tersebut hakim/ketua majelis membuat surat penetapan, penyitaan dilaksanakan oleh panitera pengadilan agama/juru sita degan dua orang pengawai pengadilan sebagai saksi; 

Bahwa sita jaminan ada 2 (dua macam) yaitu sita jaminan terhadap barang milik tergugat (consservartoir beslag) dan sita jaminan terhadap barang milik penggugat (revindicatoir beslag) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 dan Pasal 226 HIR, serta Pasal 261 Rbg dan Pasal 260 Rbg; 

Bahwa bahkan bilamana suatu gugatan harta bersama yang di dalamnya memuat permohonan Sita Marital dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Inkracht van gewijsde), maka eksekusi sita dimaksud dapat dilaksanakan meskipun pihak lain mengajukan Peninjauan Kembali, karena pada prinsipnya suatu peninjauan kembali tidak menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan. 

Bahwa menurut pendapat Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata sebagai berikut: 
Objek dari sebuah permohonan Peninjauan Kembali adalah putusan kontentiosa yang telah Berkekuatan Hukum Tetap. Dalam menentukan apakah suatu putusan pengadilan telah Berkekuatan Hukum Tetap atau tidak, dapat dilihat apabila terhadap putusan tersebut telah tertutup Upaya Hukum biasa. Putusan yang telah Berkekuatan Hukum Tetap merupakan putusan yang sudah bersifat final. Tidak dapat dicabut kembali oleh siapa pun dan kekuasaan manapun. Yang artinya pada saat permohonan Peninjauan Kembali diajukan, pada putusan itu telah melekat kekuatan eksekutorial jika amarnya bersifat kondemnator, yakni menghukum tergugat membongkar, mengosongkan, menyerahkan, membayar atau melaksanakan, maupun berbuat sesuatu. Oleh karena itu saat diajukan Peninjauan Kembali, putusan sudah dapat dilaksanakan atau dieksekusi. 

Bahwa berdasarkan urain diatas, adapun prosedur hukum untuk mendapatkan ½ (seperdua) dari harta bersama yang baik secara untuk sebagian maupun secara keseluruhan dikuasai oleh mantan suami/isteri, dimana mantan suami/isteri menolak memberikan ½ (seperdua) bagian atas hak mantan isteri/suami tersebut meskipun telah dimintakan kepadanya, maka prosedur yang dapat ditempuh yakni dengan mengajukan permohonan gugatan pembagian harta bersama ke Pengadilan Agama, dan objek gugatan harus jelas dan disertai bukti dan saksi, hal demikian juga dapat dilakukan bersamaan dengan gugatan cerai atau talak, dan gugatan rekovensi;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2010-2011 mr giepie All Rights Reserved.
Template Design by CSATLZone | Published by Jambi Law Club | Powered by Blogger.com.