Selamat Datang di Blog Pribadi Saya. Terima kasih atas kunjungan Anda. Silahkan sampaikan komentar, kritik, serta saran Anda pada bagian yang telah Saya sediakan.

Mendirikan Bangunan Tanpa IMB adalah Perbuatan Melawan Hukum

Minggu, 17 Maret 2019 | 0 komentar

Apakah perbuatan mendirikan bangunan tanpa izin mendirikan bangunan merupakan perbuatan melawan hukum.

Jawaban :

Bahwa bangunan gedung sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 1 UU Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.

Menurut Pasal 7 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) bahwa setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung. Adapun persyaratan administratif bangunan meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Sedangkan persyaratan teknis meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan gedung.

Kemudian pada Pasal 8 ayat (1) menegaskan bahwa setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif yang meliputi:
a. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;
b. status kepemilikan bangunan gedung; dan
c. izin mendirikan bangunan gedung; sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) bahwa setiap bangunan yang didirikan harus memenuhi persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung diantaranya persyaratan peruntukan lokasi, kepadatan, ketinggian, dan jarak bebas bangunan gedung.

Menurut Pasal 13 Ayat (1) bahwa persyaratan jarak bebas bangunan gedung meliputi:
a. garis sempadan bangunan gedung dengan as jalan, tepi sungai, tepi pantai, jalan kereta api, dan/atau jaringan tegangan tinggi;
b. jarak antara bangunan gedung dengan batas-batas persil, dan jarak antara as jalan dan pagar halaman yang diizinkan pada lokasi yang bersangkutan.

Bahwa apabila mendirikan bangunan berada di dalam garis sepadan bangunan dan belum memiliki IMB dan Merujuk pada ketentuan-ketentuan di atas, maka menjadi kewajiban bagi pihak yang memiliki hak atas bidang tanah yang mendirikan bangunan atau mereka yang memiliki hak atas bangunan tersebut untuk memenuhi persyaratan administratif dan teknis, diantaranya wajib memiliki IMB dan wajib memperhatikan jarak bebas bangunan (tidak mendirikan bangunan pada garis sepadan bangunan.

Bilamana kewajiban pemenuhan syarat tersebut tidak dipenuhi, maka sesuai ketentuan Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46 maka pihak yang mendirikan dan memiliki hak atas bangunan tersebut dapat dikenakan sanksi administrasi, sanksi pidana dan denda.

Selain itu, dengan tidak adanya IMB pada bangunan tersebut maka ada kewajiban pajak dan retribusi sebagaimana dimaksud pada Pasal 141, Pasal 142 ayat (1) huruf a dan ayat (2) UU Pajak dan Retribusi Daerah yang tidak dipenuhi.  Maka berdasarkan Pasal 172 dan Pasal 174 dapat dikenakan sanksi pidan.

Dengan demikian, perbuatan mendirikan bangunan di dalam garis sepadan bangunan dan belum memiliki IMB, dan menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban membayar pajak dan retribusi daerah atas IMB maka perbuatan tersebut adalah perbuatan melawan hukum.

Kasus “Daging 80 Jt” Melawan “Kekuasaan” Penegak Hukum & Pers.

Senin, 14 Januari 2019 | 0 komentar


Dalam perspektif hukum, setiap orang yang disangka, ditangkap, ditangkap, ditahan, ditahan dan atau dihadapkan dimuka pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memiliki kekuatan hukum tetap (Presumption of innocence). Hal demikian  berlaku juga bagi pelaku dan pihak-pihak lain yang diduga terkait kasus asuusila “daging 80 jt” yang saat ini sedang ditangani Polda Jawa Timur.

Hal tersebut sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan dipengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Tindakan Kapolda Jatim, Irjen Pol Luki Hermawan di Mapolda Jatim (11/1/2019)[1] menyampaikan informasi secara terbuka kepada Pers dengan menyebutkan nama lengkap dan profesi ke-enam orang yang diduga terkait prostitusi online (awalnya rilis  inisial, kemudian menyebutkan nama)[2] adalah tindakan sewenang-wenang sebagai pejabat negara. bahkan menyebut secara vulgar nama VA, yang notabene masih sebagai saksi, akan ditingkatkan menjadi terssangka.[3] Dilain sisi, informasi tersebut menjadi santapan empuk rekan-rekan Pers dan disampaikan secara vulgar kepada masyarakat, baik tulisan nama secara lengkap maupun foto/gambar melalui medianya masing-masing.

Informasi tersebut beredar cepat, opini pun terbentuk dan mendapat tanggapan beragam dari masyarakat. Mulai dari mencemo’oh, bahan lelucon, meme, dll, dan ramai diperbincangkan di media sosial. Bahkan opini yang terbentuk mengarah pada justifikasi (menghakimi). Sementara belum tentu mereka yang diduga terlibat itu benar menurut hukum terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan perbuatan pidana dimaksud. Faktanya saat ini, kasus masih dalam proses penyidikan dan belum satupun diputuskan bersalah oleh pengadilan. Dimana sebagian lagi berstatus sebagai saksi.

Bahkan bila mengacu pada Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, menegaskan bahwa saksi dan korban  berhak atas kerahasiaan identitasnya. Bahkan saksi pelaku, pelapor dan saksi ahli pun mempunyai hak yang sama. Mengenai hak tersebut diberikan berdasarkan putusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Benar menurut hukum bahwa Polri berkewajiban mengungkap suatu peristiwa pidana dan menyerahkannya kepada penuntut umum untuk dihadapkan dimuka pengadilan. Karena Polri adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan kamtibmas, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, UU Polri). Disamping itu Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara kamtibmas, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri (Pasal 5 UU Polri).

Polri memiliki tugas pokok sebagaimana dimaksud Pasal 13 (khusus huruf b – penegakan hukum) s/d Pasal 14 (khusus huruf g – berkenaan dengan tindak pidana), dan untuk melaksanakannya Polri diberi wewenang sebagaimana ketentuan Pasal 15 s/d 16 UU Polri. Adanya kewenangan berdasarkan atribusi ini, penyidik memiliki “kekuasaan” untuk melakukan penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, dll guna kepentingan penyidikan (lidik dan sidik) sesuai UU Polri, KUHAP, serta peraturan teknis lainnya. Atas dasar inilah polisi dapat bertindak atau mengambil tindakan hukum khusunya terhadap pelaku dan pihak-pihak terkait kasus asusila “jual beli daging 80 jt.”

Kemudian, benar menurut hukum bahwa pers nasional berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Pers nasional memiliki hak untuk mencari, memperoleh, menyebarkan gagasan dan informasi, pers nasional bebas dari pembredelan, penyensoran dan pelarangan siaran. Bahkan dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan dihadapan hukum, wartawan punya hak tolak. Kesemua itu sebagai wujud kemerdekaan pers sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.  Kemerdekan itu memberikan “kekuasaan” kepada Pers menjalankan fungsi jurnalistiknya, diantaranya adalah menyampaikan informasi kepada masyarakat sebagai bagian dari hak asasi warga Negara.

Berpijak pada konstitusi, Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaats) sebagimana Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebagai negara hukum maka segala sesuatu itu dilakukan berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kekuasaan (Machtsstaats). Hal ini dapat diartikan bahwa segala sesuatu tindakan Polri maupun Pers harus berdasarkan hukum, dan sesuai asas equality before the law (Pasal 27 UUD 1945) bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Kemudian, bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil sertal perlakuan yang sama di hadapan hukum, dan setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi (Pasal 28 D ayat (1 )dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945). Ini menunjukan bahwa adanya pengakuan dan jaminan perlindungan hukum sebagai HAM oleh Negara. Hak ini melekat pada diri mereka-mereka yang terkait kasus asusila “daging 80 jt.”

Tanpa mengambaikan prosedur hukum yang telah ditempuh kepolisian dalam mengungkap kasus,  sepatutnya kepolisian sebagai sumber informasi penanganan perkara asusila tidak membuka identitas saksi / saksi korban sebagaimana pelaku (mucikari), termasuk mereka yang masuk dalam daftar 45 model dan 100 artis,[4] cukup menyebut inisial saja. Membuka identitas akan memberi dampak dan berpotensi menimbulkan stigma negatif dimasyarakat. Tentunya ini melanggar hak-hak dan kepentingan hukum tersangka, saksi / saksi korban dan keluarganya. Sementara Polri dalam melaksanakan tujuannya sebagaimana dimaksud Pasal 4 UU Polri berkewajiban menjunjung tinggi HAM (lihat juga, Perkapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri).

Sementara Pers, meskipun diberikan kebebasan dalam menjalankan fungsinya akan tetapi dalam menyampaikan peristiwa dan opini wajib menghormati norma-norma agama, rasa kekesusilaan masyarakat dan asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat 1 UU No. 40 Tahun 1999 tenang Pers, UU Pers). Hal demikian juga bagian dari etika jurnalistik yang wajib dijunjung tinggi oleh Pers.

Menyampaikan informasi yang benar kepada masyarakat adalah kewajiban Pers, akan tetapi tidak boleh juga mengabaikan kaedah lainnya. Pers bukan sekedar penyampai berita, akan tetapi juga media pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Pemberitaan pers atas kasus ini tidak mencerminkan itu. Bahkan menurut Machyudin Agung Harahap[5], Pers dewasa ini juga berfungsi membentuk pendapat umum.

Identitas, profesi dan bahkan foto / gambar mereka yang terkait kasus asusila disampaikan secara terbuka kepada publik. Hal demikian berpotensi menimbulkan stigma negatif bagi diri pelaku, saksi / saksi korban dan keluargnya sementara perkara baru begulir dan belum ada keputusan hukum berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijs) yang menyatakan bersalah.

Ini buruk bagi penegakan hukum dan kemerdekaan pers di Indonesia. Polri yang seharusnya bertindak berdasarkan hukum dan menjunjung tinggi HAM justru melanggar hukum dan HAM, rasa kesusilaan masyarakat, dan mengabaikan asas praduga tak bersalah.

Demikian pula Pers. Bahkan Pers yang seharusnya sebagai kontrol sosial  terhadap tindakan aparat penegak hukum, justru ikut melanggar hukum dan melanggar kode etik jurnalis. Dilain sisi, Dewan Pers dan Komisi Penyiaran diam ditempat tanpa ada tindakan apapun terhadap Pers yang kebablasan.

Mengutip pendapat ahli :[6]
Power tends to corrupt and absolute tends to corrupt absolutely. (Kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang mutlak cenderung untuk korupsi secara mutlak pula). Adegium ini berlaku universal, baik di Timur maupun di Barat. Kekuasaan memang mengandung dua sisi sekaligus, yakni sisi positif dan negatif. Dikatakan positif karena kekuasaan yang baik sangat efektif menegakan hukum dan keadilan secara bermartabat. Kekuasaan juga mengandung unsur negatif yakni manakala kekuasaan diarahkan kepada bentuk kesewenang-wenangan dan kedzaliman.

Dengan begitu besarnya kewenangan Polri dalam penegakan hukum dan bebasnya Pers dalam menjalan fungsi jurnalis, keduanya berpotensi “korup.” Untuk itu Polri dituntut profesional, taat hukum, menjunjung tinggi etika profesi. Demikian pula Pers, dan dalam menyampaikan berita dan opini wajib menghormati norma-norma agama, rasa kekesusilaan masyarakat dan asas praduga tak bersalah. Bilamana Polri dan Pers “korup,” tidak dapat digambarkan apa yang bakal terjadi dikemudian hari. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan terjadinya kesewenang-wenangan oleh aparat penegak hukum dan lacurnya, hal demikian diamini Pers. Opini pembenaran dibentuk, dan tak ada lagi kontrol sosial.

Semoga hal demikian tidak terjadi. Penulis masih meyakini bahwa Polri masih mampu bertindak profesional, taat hukum, dan dalam penanganan perkara pidana mengedepankan asas praduga tak bersalah.. Demikian pula Pers, mampu melaksanakan amanat UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. 

Harapannya kedepan, Polri dan Pers lebih bijaksana dalam menyampaikan informasi untuk kepentingan publik, taat pada aturan hukum yang berlaku, dalam menyampaikan informasi kasus asusila haruslah memperhatikan kaedah-kaedah yang berlaku di masyarakat, dan tiada lagi kesewenang-wenangan menjalakan “kekuasaannya.”

Referensi :

  1. Machyudin Agung Harahap, Kapitalisme Media – Ekonomi Politik Berita dan Diskursus Televisi, Aura Pustaka, Yogjakarta, 2013, hal. 19-11.
  2. Majda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia Dari UUD 1945 Sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Edisi Pertama Cetakan ke–3, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hal. 30.
  3. https://www.youtube.com/watch?v=YfAxCsKqzAY, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 00.10 Wib.
  4. https://pojoksatu.id/news/berita-nasional/2019/01/11/rilis-terbaru-polda-jatim-nama-nama-artis-terlibat-prostitusi-online/, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 00.01 Wib.
  5. https://www.youtube.com/watch?v=M7806X6dm4w, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 00.23 Wib.
  6. http://jabar.tribunnews.com/2019/01/12/ini-enam-sosok-dan-foto-artis-yang-akan-dipanggil-polda-jatim-terkait-kasusu-prostitusi-online, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 00.26 Wib.
  7. https://news.okezone.com/read/2019/01/13/340/2003851/namanya-disebut-polda-jatim-soal-prostitusi-online-ini-cuitan-finalis-puteri-indonesia, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 00.29 Wib.
  8. http://suryamalang.tribunnews.com/2019/01/14/vanessa-angel-akui-tak-terlibat-prostitusi-artis-polda-jatim-punya-versi-lain-soal-sepak-terjangnya, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 17.29 WIB.
  9. http://suryamalang.tribunnews.com/2019/01/11/artis-finalis-puteri-indonesia-terkait-dugaan-prostitusi-ini-langkah-polda-jatim-saat-mengusutnya, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 17.36 WIB.
  10. https://www.suara.com/news/2019/01/08/124036/polisi-gelar-perkara-kasus-prostitusi-online-vanessa-angel, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 17.40 Wib.
  11. http://www.tribunnews.com/nasional/2019/01/11/polda-jatim-beberkan-6-artis-yang-diduga-terlibat-prostitusi-online-ada-2-finalis-puteri-indonesia, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 17.45 Wib.
  12. http://makassar.tribunnews.com/2019/01/06/dibayar-rp-80-juta-artis-vanessa-angel-inisial-va-kencan-di-hotel-lelaki-ini-bukan-orang-biasa, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 23.57 WIB.
  13. https://www.liputan6.com/showbiz/read/3864510/berani-bayar-rp-80-juta-pengusaha-yang-memesan-artis-va-bergerak-di-bidang-jasa, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pada pukul 23.58 Wib.
  14. https://idreporter.net/v/rela-bayar-rp-80-juta-begini-alasan-pria-ini-pilih-vanessa-angel-ketimbang-artis-lain-cAIKR1wTWoI.html, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 23.59 WIB.




[2] https://www.youtube.com/watch?v=YfAxCsKqzAY, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 00.10 Wib.
[5] Machyudin Agung Harahap, Kapitalisme Media – Ekonomi Politik Berita dan Diskursus Televisi, Aura Pustaka, Yogjakarta, 2013, hal. 19-11
[6] Majda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia Dari UUD 1945 Sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Edisi Pertama Cetakan ke–3,  Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hal. 30.

Unsur Pidana & Ancaman Hukuman Tindak Pidana Korupsi - Part II

Jumat, 11 Januari 2019 | 0 komentar

Adapun unsur pidana dan ancaman hukuman tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi (Part II), sebagai berikut : 

Pasal 7 Ayat (1) : 
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratusjuta rupiah) dan paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah): 
  1. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakuakn perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dlam keadaan perang; 
  2. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dimaksud dalam huruf a (angka 1, red); 
  3. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan tentara nasional indonesia dan atau kepolisisan negara republik indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negaradalam keadaaan perang; atau 
  4. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan tentara nasional indonesia dan atau kepolisian negara republik indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c (angka 3, red). 
Unsur-unsur : 
Hurud a (Angka 1, red) : 
  1. Pemborong, ahli bangunan pada waktu membuat bangunan, atau 
  2. Penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, 
  3. Melakuakan perbuatan curang 
  4. Dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau 
  5. Keselamatan negara dalam keadaan perang 
huruf b (Angka 2, red) : 
  1. Setiap orang 
  2. Bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, 
  3. Sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dimaksud dalam huruf a (angka 1, red); 
Huruf c (Angka 3, red) : 
  1. Setiap orang 
  2. Pada waktu menyerahkan barang keperluan tentara nasional indonesia dan atau kepolisisan negara republik indonesia 
  3. Melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaaan perang; atau 
Huruf d (Angka 4, red) : 
  1. Setiap orang 
  2. Yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan tentara nasional indonesia dan atau kepolisian negara republik indonesia 
  3. Dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c (angka 3, red). 
Ancaman hukuman : 
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratusjuta rupiah) dan paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah). 

Pasal 7 Ayat (2) : 
Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barnag keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 

Unsur-unsur : 
  1. Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan, atau 
  2. Orang yang menerima penyerahan barnag keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan 
  3. Membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a (angka 1, red) atau huruf c (angka 3, red),  
Ancaman hukum : 
Dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 

Pasal 8 : 
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut. 

Unsur-unsur : 
  1. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri. 
  2. Ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, 
  3. Dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau 
  4. Membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau 
  5. Membantu dalam melakukan perbuatan tersebut. 
Ancaman hukuman : 
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, dan pidana denda sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), 

Pasal 9 : 
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (sati\u) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp150.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi. 

Unsur – unsur : 
  1. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri 
  2. Diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, 
  3. Dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi. 
Ancaman hukuman : 
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (sati\u) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp150.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). 

Pasal 10 : 
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja : 
  1. Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau 
  2. Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut, atau 
  3. Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut. 
Unsur – unsur : 
Huruf a (Angka 1, red) : 
  1. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri. 
  2. Diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, 
  3. Dengan sengaja 
  4. Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya. 
Huruf b (Angka 2, red) : 
  1. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri 
  2. Diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, 
  3. Dengan sengaja, 
  4. Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut, atau 
Huruf c (Angka 3, red) : 
  1. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri 
  2. Diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, 
  3. Dengan sengaja, 
  4. Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut, 
Ancaman hukuman : 
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah). 

Unsur Pidana & Ancaman Hukuman Tindak Pidana Korupsi - Part I

Kamis, 10 Januari 2019 | 0 komentar

Adapun unsur pidana & ancaman hukuman tindak pidana korupsi (Tipikor) berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi (Part I), diantaranya sebagai berikut : 

Pasal 2 Ayat (1) : 
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 

Unsur – unsur : 
  1. Setiap orang, 
  2. yang secara melawan hukum, 
  3. melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, 
  4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 
Ancaman hukum : 
Dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 

Pasal 2 Ayat (2) : 
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. 

Unsur – unsur : 
  1. Setiap orang, 
  2. Yang secara melawan hukum, 
  3. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, 
  4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, 
  5. Dalam keadaan tertentu, 
Ancaman hukuman : 
Pidana mati. 

Pasal 3 : 
Bahwa Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 

Unsur-unsur : 
  1. Setiap orang, 
  2. dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, 
  3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, 
  4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, 
Ancaman hukuman : 
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 

Pasal 4 : 
Bahwa Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. 


Pasal 5 Ayat (1) : 
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang : 
  1. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau 
  2. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. 
Unsur-unsur : 
angka 1 :
  1. setiap orang, 
  2. memberi atau menjanjikan sesuatu 
  3. kepada pegawai negri atau penyelenggara negara, 
  4. dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, 
  5. yang bertentangan dengan kewajibannya 
atau 
angka 2 :
  1. setiap orang, 
  2. memberi sesuatu, 
  3. kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara 
  4. karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, 
  5. dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. 
Ancaman Hukuman : 
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun, dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) 

Pasal Ayat (2) : 
Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 

Unsur-unsur : 
angka 1 :
  1. setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara, 
  2. merima pemberian atau janji 
  3. dari setiap orang (orang atau badan hukum) 
  4. dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, 
  5. yang bertentangan dengan kewajibannya 
atau 
angka 2 :
  1. setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara, 
  2. menerima pemberian atau janji, 
  3. dari setiap orang (orang atau badan hukum). 
  4. karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, 
  5. dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. 
Ancaman hukuman : 
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun, dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). 

Pasal 6 Ayat (1) : 
Dipidana dengan pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus liam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang : 
  1. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau 
  2. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. 
Unsur – unsur : 
angka 1 :
  1. Setiap orang, 
  2. memberi atau menjanjikan sesuatu, 
  3. Kepada hakim, 
  4. dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili 
atau, 
angka 2 :
  1. setiap orang, 
  2. memberi atau menjanjikan sesuatu, 
  3. kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, 
  4. dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, 
  5. berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. 
Ancaman hukuman : 
Dipidana dengan pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus liam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) 

Pasal 6 Ayat (2) : 
Bagi hakim yang menerima pemberian pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 

Unsur-unsur : 
angka 1 :
  1. hakim 
  2. menerima pemberian atau janji sbgmana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, 
Ancaman hukum : 
Dipidana dengan pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus liam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) 

atau, 
angka 2 :
  1. advokat, 
  2. menerima pemberian atau janji sbgmana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, 
Ancaman hukum : 
Dipidana dengan pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus liam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). 

Hukum Perjanjian (het verbintenssenrecht)

Selasa, 08 Januari 2019 | 0 komentar


Hukum perjanjian asal kata dari hukum dan perjanjian. Dalam kamus hukum (Dictionary of Law), istilah Hukum diberbagai negara berbeda-beda. Seperti contoh, mengutip istilah hukum di Belanda dikenal dengan sebutan Recht, di Inggris disebut dengan kata Law, di Indonesia disebut Hukum.
Adapun pengertian hukum menurut Kamus Hukum :
Keseluruhan peraturan-peraturan dimana tiap-tiap orang yang bermasyarakat wajib mematuhinya; sistem peraturan untuk menguasai tingkah laku manusia dalam masyarakat atau bangsa, undang-undang, ordonansi, atau peraturan yang ditetapkan pemerintah dan ditandatangani ke dalam undang-undang.[1]

Istilah hukum mennurut Sudikno Mertokusumo memiliki pengertian sebagai berikut:
Keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama: keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.[2]

Pengertian hukum menurut Wirjono Prodjodikoro :
Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat dan bertujuan mengadakan tata-tertib diantara anggota-anggota masyarakat itu. Ini berarti, bahwa anasir-hukum baru dapat dianggap ada, apabila suatu tingkah aku seorang sedikit banyak menyinggung atau mempengaruhi tingkah laku dan kepentingan orang lain.[3]

Pengertian hukum menurut ahli lainnya[4] :
Menurut Utrecht, Hukum adalah himpunan peraturan (perintah-perintah dan larangan-parangan) yang pengurus tata tertib suatu masyarakat dan oleh karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.
Menurut Meyers, hukum ialah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, dtujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat yang menjadi pedoman bagi penguasa negara dalam melakukan tugasnya.
Menurut SM. Amin, hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi, dan tujuan hukum adalah mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara.
Menurut Abdul Rasyid Salim : hukum adalah keseluruhan peraturan yang dibuat oleh pengurus (Masyarakat dan negara) sebagai alatuntuk mencapai tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh penguasa itu.

Sedangkan istilah perjanjian dalam bahasa Inggris kenal dengan sebutan contract, bahasa belanda disebut verbintenis. Sedangkan di Indonesia dikenal dengan berbagai istilah diantaranya perikatan, perjanjian, kontrak. [5]
Adapun pengertian perjanjian menurut Kamus Hukum yaitu persetujuan secara tertulis atau lisan yang dibuat dua pihak atau lebih dimana masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu sebagai kesepakatan bersama.[6]
Pengertian perjanjian menurut Wirjono Prodjodikoro adalah sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.[7]
Bahwa perjanjian adalah bagian dari perikatan, dimana berdasarkan ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata / Burgerlijk Wetboek), menyebutkan bahwa perikatan lahir karena suatu perjanjian atau karena undang-undang. Kemudian Pasal 1234 bahwa perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Perikatan yang lahir karena suatu perjanjian bersumber pada persetujuan (overeenkomsten). Sementara perikatan yang lahir karena segala hal yang menurut B.W masuk pengertian perjanjian yang bersumber pada undang-undang (verbintenissen uit de wet allen) dan perjanjian yang bersumber pada perbuatan melanggar  hukum (verbintenissen uit onrechtmatige daad) tidaklah mengandung anasir janji, atau orang tidak dapat dikatakan berjanji apabila kewajiban melekat padanya karena perintah undang-undang.[8]
Adapun sifat pokok hukum perjanjian menurut Wirjono Prodjodikoro adalah :
..., kalau seorang berjanji melaksanakan sesuatu hal, janji ini dalam hukum hakekatnya ditujukan kepada orang lain. Berhubungan dengan ini dapat dikatakan, bahwa bahwa sifat pokok dari hukum perjanjian ialah, bahwa hukum ini semula mengatur perhubungan hukum antara orang-orang, jadi semula tidak antara orang dan suatu benda.

Dalam suatu perhubungan hukum mengenai suatu benda, Hukum B.W. memperbedakan hak terhadap benda (zakelijk recht) dari pada hak terhadaporang (persoonlijk recht), sedemikian rupa bahwa, meskipun suatu perjanjian (verbintenis) adalah mengenai suatu benda, pernjajian itu tetap merupakan hukum antara orang-orang, lebih tegas lagi antara seorang tertentu, berdasar atas suatu janji, berwajib melakukan sesuatu hal, dan orang lain tertentu berhak untuk menuntut pelaksanaan kewajiban itu.[9]

Agar suatu perjanjian dianggap sah, wajib memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :
1.      Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3.      Suatu pokok persoalan tertentu.
4.      Suatu sebab yang tidak terlarang.

Menurut pendapat ahli bahwa syarat sahnya perjanjian terbagi dalam dua hal yakni syarat subjektif dan syarat objektif.
 Kebatalan menyangkut persoalan tidak terpenuhinya syarat sah suatu perjanjian, yaitu (1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (3) suatu hal tertentu; (4) suatu sebab yang halal. Menurut Prof. Subekti, keempat syarat tersebut diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif meliputi sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Sementara syarat objektif meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.[10]

Subjek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum dapat memiliki hak dan kewajiban yang memilikikewenangan untuk bertindak. Adapun yang menjadi subjek hukum adalah Manusia / orang pribadi (natuurlijke persoon) yang sehat rohani / jiwanya, tidak di bawah pengampuan, dan Badan Hukum (rechts persson).
Subjek hukum dalam suatu perjanjian menurut oleh Wirjono Prodjodikoro menggunakan istilah orang atau badan hukum sebagai pihak berwajib dan sebagai pihak berhak. Subjek hukum berupa orang harus sudah dewasa, sehat pikirannya dan tidak oleh peraturan hukum dilarang atau dibatasi  melakukan perbuatan hukum yang sah. [11]
Subjek hukum tidak cakap melakukan perjanjiansebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata yaitu :
1.      Anak yang belum dewasa.
2.      Orang yang ditaruh dibawah pengampuan.
3.      Perempuan yang belum kawin dalam hal-hal yang ditemukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.

Bahwa Badan hukum dapat melakukan tindakan hukum misalnya mengadakan perjanjian dengan pihak lain, mengadakan jual beli, yang dilakukan oleh pengurusnya atas nama suatu badan hukum. Namun demikian yang disebut badan hukum harus memenuhi syarat tertentu. Misalnya perseroan terbatas (PT) dimana akta pendirian perusahaan harus disahkan oleh Menkum HAM serta diumumkan dlm lembaran berita negara. Sedangkan badan hukum lain disahkan menurut ketentuan badan itu sendiri. Contoh yayasan sesuai dengan UU 16/2001 ttg yayasan, dan contoh lainnya.
Adapun objek perjanjian menurut Wirjono Prodjodikoro yaitu :
Objek adalah kebalikan dari subjek. Kalau dari uraian diatas kiranya dapat terang, bahwa subject suatu pernjanjian anasir, yang bertindak, yang actief, maka objek dalam suatu perjnajian dappat diartikan sebagai hal yang diperlakukan oleh subject itu berupa suatu hal yang penting dalam tujuan yang dimaksudkan dengan membentuk suatu perjanjian. Oleh karena itu, object dalam perhubungan hukum perihal perjanjian ialaha : hal yang diwajibkan kepada pihak-berwajib (debitur), dan hal, terhadap mana pihak-berhak (crediture) mempunyai hak.[12]

Dalam suatu perjanjian apabila tidak terpenuhinya syarat subjektif maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan / dapat dimintakan pembatalan oleh satu pihak, dan apabila tidak terpenuhinya syarat objektif menyebabkan suatu perjanjian batal demi hukum secara serta merta atau perjanjian dianggap tidak ada.
Berdasarkan sifat kebatalan, nutilitas dibedakan dalam kebatalan relatif dan kebatalan mutlak. Menurut Wirjono Projodikoro dalam Elly Erawati dan Herlien Budiono bahwa kebatalan relatif dan kebatalan mutlak yaitu :
... adalah suatu pembatalan mutlak (absolute neitgheid) apabila suatu perjanjian harus dianggap batal meskipun tidak diminta oleh suatu pihak. perjanjian seperti ini dianggap tidak ada sejak semula dan terhadap siapapun juga. Sedangkan pembatalan relatif (relatief neitigheid) yaitu hanya terjadi jika diminta oleh orang-orang tertentu dan hanya berlaku terhadap orang-orang tertentu itu.

Batal demi hukum selain karena  tidak terpenuhinya syarat objektif, juga karena undang-undang.
Batal demi hukum selain karena tidak terpenuhinya unsur objektif, juga karena undag-undang merumuskan secara kongkret tiap-tiap perbuatan hukum (terutama pernjajian formil) yang mensyaratkan dibentukannya perjanjian dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, yang tidak dipenuhi, perjanjian tersebut adalah batal demi hukum (tidak memiliki kekuatan dalam pelaksanaannya.[13]

Menurut R. Setiawan, dalam bidang kebatalan terdapat ketidakpastian tentang penggunaan istilah, misalnya undang-undang menyebutkan batal demi hukum, tetapi yang dimaksudkan adalah dapat dibatalkan. Hal ini dapat kita jumpai dalam Pasal 1446 BW.[14]



[1] M. Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum – Dictionary of Law Complete Edition, Cetakan I, Reality Publisher, 2009, hal 258.
[2]Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Edisi Kelima, Cetakan Keempat, Liberty Yogjakarta, Yogjakarta, hal. 40.
[3] Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Cetakan VIII, Mandar Maju, 2000, hal 7.
[4] Abdul Rasyid Salim, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Edisi ke kedua, Cetakan ke 5, Kencana Prenada Media Group, 2010, hal 8.
[5] M. Marwan dan Jimmy P,Op Cit,  hal 379, 506, 507.
[6] Ibid, hal 507.
[7] Wirjono Prodjodikoro, Op Cit, hal 4.
[8] Ibid, hal 2.
[9] Ibid, hal 7.
[10] Elly Erawati dan Herlien Budiono, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, PT. Gramedia, Jakarta, 2010, hal 1.
[11] Ibid, hal 15.
[12] Wirjono Prodjodikoro, Ibid, hal 19.
[13] Ibid. Hal 1.
[14] Ibid.

 
© Copyright 2010-2011 mr giepie All Rights Reserved.
Template Design by CSATLZone | Published by Jambi Law Club | Powered by Blogger.com.