Pertanyaan
:
Bagaimanakah kedudukan
hukum mantan suami / isteri beragama
Islam terhadap harta Bersama ?
TET, Jambi.
Jawaban :
Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 1
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menerangkan bahwa perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
Menurut Hukum Islam di Indonesia
menerangkan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah penikahan, yaitu akad
yang sangat kuat atau miitsaaqon
gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah (Abdurrahman, Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, hal. 114);
Perkawinan dimaksud mempunyai tujuan
untuk memperoleh keturunan, mewujudkan rumah tangga sakinah mawaddah warahmah,
juga untuk dapat bersama-sama hidup pada suatu masyarakat dalam perikatan
kekeluargaan. Berkenaan dengan itu, guna keperluan hidup bersama-sama tersebut
dibutuhkan suatu kekayaan duniawi yang diperlukan dan dapat dipergunakan oleh
suami isteri guna mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Kekayaan duniawi ini
yang disebut harta perkawinan, harta keluarga, ataupun harta bersama (Soerodjo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas
Hukum Adat, hal 149);
Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 35
ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menegaskan
bahwa :
(1)
harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama;
(2)
harta bawaan dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah
di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain;
Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 1
huruf g Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991) yang dimaksud dengan harta kekayaan dalam perkawinan
atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama
suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa
mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
Bahwa dalam yurisprudensi peradilan
agama juga dijelaskan bahwa harta bersama yaitu harta yang diperoleh dalam masa perkawinan dalam kaitan dengan hukum
perkawinan, baik penerimaan itu lewat perantara istri maupun lewat perantara suami. Harta ini diperoleh sebagai hasil karya-karya dari
suami istri dalam kaitannya dengan perkawinan.
Hal mana juga dapat
ditemukan di dalam KUH Perdata Pasal 119 bahwa sejak saat
dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadinya harta bersama
menyeluruh antara suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan
ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama
perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu
persetujuan antara suami isteri;
Bahwa menurut Pasal 91 Kompilasi
Hukum Islam menegaskan bahwa
(1)
Harta bersama sebagaimana
dimaksud Pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud;
(2)
Harta bersama yang berwujud
dapat meliputi benda tidak bergerak,
benda bergerak dan surat-surat berharga;
(3)
Harta bersama yang tidak
berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban;
(4)
Harta bersama dapat dijadikan
sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lain;
Bahwa mengenai barang berwujud dan
tidak berwujud, barang tidak bergerak dan bergerak diatur juga dalam Buku Kedua
Tentang Kebendaan KUH Perdata Pasal 499 s/d Pasal 528 KUH Perdata;
Bahwa sebagaimana ketentuan tersebut
dapat disimpulkan bahwa harta bersama
dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud, serta benda bergerak dan tidak
bergerak;
Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 36
ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
menegaskan bahwa :
(1)
mengenai harta bersama, suami
atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak;
(2)
mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya;
Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 85
Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991) menegaskan bahwa adanya harta
bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik
masing-masing suami atau isteri;
Bahwa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 86 Kompilasi Hukum Islam, pada dasarnya tidak ada percampuran antara
harta suami dan isteri karena perkawinan, dan harta isteri tetap menjadi hak
isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak
suami dan dikuasai penuh olenya;
Bahwa mengenai harta bawaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa :
(1)
harta bawaan masing-masing
suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak
menentukan lain dalam perjanjian perkawinan;
(2)
suami dan isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa
hibah, hadiah, sodaqah, atau lainnya;
Bahwa berdasarkan perihal tersebut di
atas menegaskan bahwa harta bersama
adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Khusus mengenai harta bawaan
masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya kecuali ditentukan lain
oleh para pihak.
Bahwa berkenaan dengan “kecuali
ditentukan lain oleh para pihak” adalah bilamana mengenai harta bawaan tersebut
terdapat penggabungan harta yang dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis
sebagaimana dimaksud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan;
Bahwa meskipun masing-masing pihak
berhak melakukan perbuatan hukum selama dalam pernikahan, memiliki kedudukan
yang sama, akan tetapi berkaitan dengan harta bersama, baik suami atau pun isteri
dapat bertindak berdasarkan persetujuan
para pihak, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan menegaskan bahwa mengenai
harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah
pihak;
Bahwa bahkan suami atau isteri tidak
diperkenankan menjual atau memindahkan harta bersama sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 92 Kompilasi Hukum Islam yaitu suami
atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan
harta bersama;
Bahwa masing-masing pihak sebagaimana
dimaksud Pasal 89 dan Pasal 90 Kompilasi Hukum Islam, bahwa suami bertanggung
jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri, demikian
pula isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta suami
yang ada padanya;
Bahwa apabila terjadi perselisihan
antara suami-isteri tentang harta bersama, sebagaimana dimaksud Pasal 88
Kompilasi hukum Islam maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada
Pengadilan Agama;
Bahwa hal yang perlu
juga diperhatikan adalah apakah pernikahan itu sah menurut hukum dan putusnya
pernikahan sah menurut hukum. Bila fakta hukumnya bahwa terlah terjadinya suatu
pernikahan secara sah menurut hukum dan bila bilamana putusnya suatu pernikahan karena
perceraian dengan cara dan sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 38, Pasal 39
dan Pasal 40 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka
sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam bahwa janda
atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua (½)
dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan;
Bahwa pengaturan demikian jug dapat dijumpai di dalam Pasal
128 KUH Perdata menegaskan bahwa Setelah
bubarnya harta bersama, kekayaan bersama mereka dibagi dua antara suami dan
istri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dan pihak mana asal
barang-barang itu. Ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Bab XVII Buku
Kedua, mengenai pemisahan harta peninggalan, berlaku terhadap pembagian harta
bersama menurut undang-undang.
Bahwa dalam konteks
ini berlaku asas personalistas keislaman. Sehingga hukum yang berlaku adalah
hukum Islam dan lembaga yang berwenang memeriksa dan mengadili sengketa harta
bersama adalah Pengadilan Agama.
Bahwa berdasarkan Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan
Buku II Edisi 2007 terbitan Mahkamah Agung RI Tahun 2012, pada halaman 368 (tiga ratus enam puluh
delapan) menyebutkan kedudukan Pengadilan Agama merupakan salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam, mengenai
perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor 3
Tahun 2006;
Bahwa
berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan Buku II Edisi 2007 terbitan
Mahkamah Agung RI Tahun 2012, pada halaman 369 (tiga ratus enam puluh Sembilan) menyebutkan tentang kewenangan Peradilan Agama
meliputi memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah;
Bahwa berdasarkan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 kemudian diubah lagi
dengan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 Tentang Perubahan kedua atas
undang-undang nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama, ditegaskan bahwa
kekuasaan Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus
dan menyelesaikan perkara perdata khusus bagi agama islam, yang dikenal dengan asas personalitas keislaman. Bahwa asas Personalitas Keislaman adalah pola pengaturan kewenangan
Pengadilan Agama yang tidak bisa di tundukkan oleh lembaga lain diluar
Pengadilan Agama.
Bahwa berdasarkan uraian di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa harta bersama baik dalam bentuk benda berwujud
atau tidak berwujud, benda bergerak atau benda tidak bergerak, selama dalam pernikahan tidak boleh dijual atau dipindahkan oleh
suami atau isteri tanpa persetujuan para pihak, dan bilamana terjadi
perselisihan terhadap harta bersama tersebut, maka penyelesaiannya diajukan melalui
Pengadilan Agama;
Bahwa oleh karena putusnya pernikahan
akibat perceraian (cerai hidup) yang sah menurut hukum maka terhadap harta
bersama itu, masing-masing pihak
memiliki hak dan kedudukan yang sama terhadap harta tersebut, kecuali
ditentukan lain dalam suatu akta perjanjian, dan masing-masing memiliki hak ½
(setengah) bagian atas harta bersama;
Demikian, semoga
bermanfaat.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar