Selamat Datang di Blog Pribadi Saya. Terima kasih atas kunjungan Anda. Silahkan sampaikan komentar, kritik, serta saran Anda pada bagian yang telah Saya sediakan.

Kedudukan Hukum Suami / Isteri Beragama Islam Terhadap Harta Bersama

Minggu, 18 November 2018


Pertanyaan :
Bagaimanakah kedudukan hukum mantan suami / isteri beragama Islam terhadap harta Bersama ?

TET, Jambi.

Jawaban :

Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menerangkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;

Menurut Hukum Islam di Indonesia menerangkan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah penikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hal. 114);

Perkawinan dimaksud mempunyai tujuan untuk memperoleh keturunan, mewujudkan rumah tangga sakinah mawaddah warahmah, juga untuk dapat bersama-sama hidup pada suatu masyarakat dalam perikatan kekeluargaan. Berkenaan dengan itu, guna keperluan hidup bersama-sama tersebut dibutuhkan suatu kekayaan duniawi yang diperlukan dan dapat dipergunakan oleh suami isteri guna mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Kekayaan duniawi ini yang disebut harta perkawinan, harta keluarga, ataupun harta bersama (Soerodjo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, hal 149);

Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 35 ayat (1)  dan ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menegaskan bahwa :
(1)       harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama;
(2)       harta bawaan dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain;

Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 1 huruf g Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991)  yang dimaksud dengan harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.

Bahwa dalam yurisprudensi peradilan agama juga dijelaskan bahwa harta bersama yaitu harta yang diperoleh dalam masa perkawinan dalam kaitan dengan hukum perkawinan, baik penerimaan itu lewat perantara istri maupun lewat perantara suami. Harta ini diperoleh sebagai hasil karya-karya dari suami istri dalam kaitannya dengan perkawinan.

Hal mana juga dapat ditemukan di dalam KUH Perdata Pasal 119 bahwa sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadinya harta bersama menyeluruh antara suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri;

Bahwa menurut Pasal 91 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa
(1)       Harta bersama sebagaimana dimaksud Pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud;
(2)       Harta bersama yang berwujud dapat meliputi  benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga;
(3)       Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban;
(4)       Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lain;

Bahwa mengenai barang berwujud dan tidak berwujud, barang tidak bergerak dan bergerak diatur juga dalam Buku Kedua Tentang Kebendaan KUH Perdata Pasal 499 s/d Pasal 528 KUH Perdata;

Bahwa sebagaimana ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa harta bersama dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud, serta benda bergerak dan tidak bergerak;

Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menegaskan bahwa :
(1)       mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak;
(2)       mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya;

Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991) menegaskan bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri;

Bahwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 Kompilasi Hukum Islam, pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan, dan harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olenya;

Bahwa mengenai harta bawaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa :
(1)       harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan;
(2)       suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah, atau lainnya;

Bahwa berdasarkan perihal tersebut di atas menegaskan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Khusus mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya kecuali ditentukan lain oleh para pihak.

Bahwa berkenaan dengan “kecuali ditentukan lain oleh para pihak” adalah bilamana mengenai harta bawaan tersebut terdapat penggabungan harta yang dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

Bahwa meskipun masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum selama dalam pernikahan, memiliki kedudukan yang sama, akan tetapi berkaitan dengan harta bersama, baik suami atau pun isteri dapat bertindak berdasarkan persetujuan para pihak, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menegaskan bahwa mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak;

Bahwa bahkan suami atau isteri tidak diperkenankan menjual atau memindahkan harta bersama sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 92 Kompilasi Hukum Islam yaitu suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama;

Bahwa masing-masing pihak sebagaimana dimaksud Pasal 89 dan Pasal 90 Kompilasi Hukum Islam, bahwa suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri, demikian pula isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta suami yang ada padanya;

Bahwa apabila terjadi perselisihan antara suami-isteri tentang harta bersama, sebagaimana dimaksud Pasal 88 Kompilasi hukum Islam maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama;

Bahwa hal yang perlu juga diperhatikan adalah apakah pernikahan itu sah menurut hukum dan putusnya pernikahan sah menurut hukum. Bila fakta hukumnya bahwa terlah terjadinya suatu pernikahan secara sah menurut hukum dan bila bilamana putusnya suatu pernikahan karena perceraian dengan cara dan sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua  (½)  dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan;

Bahwa pengaturan demikian jug dapat dijumpai di dalam Pasal 128 KUH Perdata menegaskan bahwa  Setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama mereka dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dan pihak mana asal barang-barang itu. Ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Bab XVII Buku Kedua, mengenai pemisahan harta peninggalan, berlaku terhadap pembagian harta bersama menurut undang-undang.

Bahwa dalam konteks ini berlaku asas personalistas keislaman. Sehingga hukum yang berlaku adalah hukum Islam dan lembaga yang berwenang memeriksa dan mengadili sengketa harta bersama adalah Pengadilan Agama.

Bahwa berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan Buku II Edisi 2007 terbitan Mahkamah Agung RI Tahun 2012, pada halaman 368 (tiga ratus enam puluh delapan) menyebutkan kedudukan Pengadilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam, mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor 3 Tahun 2006;

Bahwa berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan Buku II Edisi 2007 terbitan Mahkamah Agung RI Tahun 2012, pada halaman 369 (tiga ratus enam puluh Sembilan)  menyebutkan tentang kewenangan Peradilan Agama meliputi memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah;

Bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 kemudian diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 Tentang Perubahan kedua atas undang-undang nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama, ditegaskan bahwa kekuasaan Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata khusus bagi agama islam, yang dikenal dengan asas personalitas keislaman. Bahwa asas Personalitas Keislaman adalah pola pengaturan kewenangan Pengadilan Agama yang tidak bisa di tundukkan oleh lembaga lain diluar Pengadilan Agama.

Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa harta bersama baik dalam bentuk benda berwujud atau tidak berwujud, benda bergerak atau benda tidak bergerak, selama dalam pernikahan tidak boleh dijual atau dipindahkan oleh suami atau isteri tanpa persetujuan para pihak, dan bilamana terjadi perselisihan terhadap harta bersama tersebut, maka penyelesaiannya diajukan melalui Pengadilan Agama;

Bahwa oleh karena putusnya pernikahan akibat perceraian (cerai hidup) yang sah menurut hukum maka terhadap harta bersama itu, masing-masing pihak memiliki hak dan kedudukan yang sama terhadap harta tersebut, kecuali ditentukan lain dalam suatu akta perjanjian, dan masing-masing memiliki hak ½ (setengah) bagian atas harta bersama;

Demikian, semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2010-2011 mr giepie All Rights Reserved.
Template Design by CSATLZone | Published by Jambi Law Club | Powered by Blogger.com.